Cerita Bos-bos BUMN: Infrastruktur Terbangun, Daya Saing RI Naik

Cerita Bos-bos BUMN: Infrastruktur Terbangun, Daya Saing RI Naik

- detikFinance
Rabu, 03 Sep 2014 19:42 WIB
Cerita Bos-bos BUMN: Infrastruktur Terbangun, Daya Saing RI Naik
Jakarta - Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kendala konektivitas masih menjadi isu utama yang hingga 69 tahun kemerdekaannya belum tuntas ditangani. Padahal secara geografisnya, Indonesia memiliki potensi yang sangat strategis karena memiliki akses langsung ke pasar terbesar di dunia.

Indonesia dilewati oleh satu Sea Lane of Communication (SLoC), yaitu Selat Malaka yang merupakan peringkat pertama dalam jalur pelayaran kontainer global.

Isu tersebut menjadi topik dalam dialog bertajuk Konektivitas dan Sistem Logistik untuk Meningkatkan Daya Saint pada rangkaian seminar bertema Relfeksi Tiga Tahun Pelaksanaan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di JCC, Jakarta, Rabu (3/9/2014).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino mengatakan, dari studi terakhir yang dilakukan Oxford Economics, perbaikan sitem transportasi laut dan pelabuhan Indonesia mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional hingga 0,31%.

"Kalau kita bisa memperbaiki pelabuhan kita, sama service level-nya setara dengan ASEAN. (Pertumbuhan) ekonomi kita tambah 0,31%. Jadi kalau sekarang pertumbuhan kita 5,5% berarti bisa jadi 5,81%," kata Lino dalam Paparannya pada dialog tersebut.

Lino menuturkan, bukan hal yang mustahil bagi Indonesia bila ingin meningkatkan kualitas transpostasi lautnya. Salah satu pembenahan dapat dimulai dengan pembenahan pelabuhan sebagai tempat bersandar kapal-kapal. Itu pun, lanjutnya, bukan perkara mahal, lantaran untuk menciptakan pelabuhan layaknya pelabuhan modern di Singapura, menurutnya teknologi yang dimiliki anak bangsa sudah mumpuni.

"Dampak ke pertumbuhan ekonomi very powerful, gede banget. Padahal beresin itu tidak ada high tech-nya. Negara kita mampu," tandasnya.

Sisi berikutnya, lanjut Lino adalah perbaikan dari sisi regulasi dan kecepatan proses perizinan. "Bagian yang paling besar itu sebenarnya soft side-nya. Misalnya di sisi regulasi, perizinan mulai bea cukai, perdagangan, perindustrian, pertanian, terkait dengan karantina, itu yang sekarang menjadi persoalan itu bagian itu," tegasnya.

Paparan Lino ini diamini oleh Direktur Utama PT Pelni Sulistyo Wimbo Hardjito. Menurutnya pembenahan pelabuhan menjadi hal yang mutlak perlu dilakukan untuk menciptakan konektivitas yang andal di Indonesia.

"Kapal itu tidak seperti angkot yang bisa berhenti di mana saja. Dia butuh pelabuhan untuk tempat bersandar. Makanya keberadaan pelabuhan itu kalau kita ingin memperkuat konektivitas laut menjadi penting," kata dia.

Mustahil menurut Wimbo, bila Indonesia mewacanakan peningkatan konektivitas tanpa memperhatikan keberadaan pelabuhan ini. Penyediaan infrastruktur pelabuhan ini pun menurutnya tak bisa hanya dilakukan setengah hati.

Tanpa menghitung potensi kapal yang bersandar, bisa jadi keberadaan pelabuhan di satu lokasi justru bisa tidak berkontribusi terlalu besar pada peningkatan konektivitas.

"Pelabuhan berbeda dengan terminal di darat. Ada satu pelabuhan yang tidak besar, sementara kapal kita besar. Akhirnya untuk bersandar harus dibantu dengan kapal kecil lagi. Itu kan cost (biaya) lagi. Jadi tidak efisien," tuturnya.

Di sisi lain, keandalan layanan pelabuhan juga perlu didukung dengan ketersediaan teknologi telekomunikasi yang memadai. Direktur Utama Telkom Arief Yahya bilang, untuk mendorong terselenggaranya pelayanan pelabuhan yang andal, teknologi telekomunikasi adalah kuncinya.

"Teknologi harus dikembangkan. Mislanya untuk sistem antre kapal teknologi GPS sudah harus dikembangkan. Jadi tidak manual lagi supayaparkir kapalnya lebih teratur lebih cepat," kata Arief.

Hal ini, butuh keandalan dari sisi teknologi telekomunikasi itu sendiri. Saat ini, lanjutnya, Telkom telah gencar melakukan ekspansi telekomunikasi salah satunya dengan pemanfaatan satelit.

"Teknologi telekomunikasi dengan kabel saat ini sudah kurang memadai lagi dengan perkembangan zaman. Makanya kami juga terus kembangkan telekomunikasi dengan satelit. Apa lagi di pelabuhan untuk lalulintas kapal kalau komunikasinya tidak andal maka sama saja akan semerawut," ujarnya.

Dengan keandalan lalu lintas laut ini, maka sebagian besar kendala konektivitas Indonesia bisa dikatakan telah teratasi. Namun tak cukup dengan itu. Konektivitas antara satu lokasi dengan lokasi lain di darat juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.

Wakil Menteri Pekerjaan Umum Achmad Hermanto Dardak mengatakan, kelemahan tranportasi darat di tanah air telah membuat negara ini kehilangan daya saingnya di tengah negara Asia lain yang juga masih berkembang.

"Untuk menempuh 100 kilometer di Indonesia ditempuh dalam waktu lebih dari 2 jam. Sementara di tetangga kita ada yang 1,5 jam atau lebih cepat. Ini cara paling mudah untuk membandingkan daya saing nasional," kata dia dalam kesempatan yang sama.

Hal ini membuat dunia logistik yang memanfaatkan jalur darat menjadi tidak efektif. Waktu tempuh yang sulit diprediksi, banyaknya biaya tidak terduga yang sulit diperhitungkan menjadi isu utama yang seolah sulit dipecahkan.

Menjawab hal tersebut, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Ignasius Jonan menuturkan, transportasi logistik dengan kereta api bisa menjadi solusi yang menarik untuk dikembangkan.

"Yang pastinya kalau kereta api menawarkan kepastian waktu tempuh, biaya yang bisa diprediksi dan keamanan. Tidak ada biaya-biaya tak terduga di tengah jalan seperti kalau menggunakan truk," kata dia.

Moda transportasi ini pun dapat dikoneksikan dengan fasilitas-fasilitas transportasi lain seperti bandara dan pelabuhan. "Jadi yang namanya cita-cita konektivitas dari Sabang sampai Merauke itu bukan rencana lagi tapi bisa benar dirasakan," tegasnya.

Sejak 2011, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memiliki program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang direncanakan akan berjalan hingga 2025. Ada 350 proyek infrastruktur yang masuk dalam program ini, dengan total nilai proyek Rp 2.299,34 triliun. Ini terdiri dari proyek APBN Rp 97,962 triliun, BUMN Rp 306,91 triliun, swasta Rp .430,81 triliun, dan proyek campuran pemerintah-swasta Rp 463,65 triliun.

Proyek ini tersebar di sejumlah wilayah, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku.

(dnl/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads