Lokasinya sangat terpencil karena harus ditempuh dengan long boat selama 3 jam dari ibu kota Kabupaten Sorong Selatan. Dimulai tahun lalu, pabrik ini ditargetkan bisa beroperasi pada Maret 2015.
Ternyata pabrik sagu modern ini bukan yang pertama dibangun di Papua. Ada pabrik serupa namun proses pembangunan memperoleh penolakan dari penduduk atau suku lokal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbeda dengan pabrik sagu swasta, pabrik milik BUMN Perhutani justru memperoleh dukungan penduduk lokal. Tidak pernah ada penghadangan terhadap proses pembangunan.
Ronald bercerita pihaknya melakukan pendekatan ke warga setempat terlebih dahulu. Artinya pembangunan didasarkan atas persetujuan dan keinginan warga. Perhutani menyebutnya sebagai membangun fondasi sosial terlebih dahulu agar misi negara untuk mendirikan pabrik bisa berhasil.
"Kita bangun bangunan sosial dulu, bukan bangunan fisik," sebut Ronald.
Fondasi sosial dimulai dengan dialog-dialog dengan warga lokal. Pendekatan yang dipakai seperti pendekatan agama. Padahal awalnya warga menolak pembangunan karena pernah trauma terhadap kasus perambahan besar-besaran hutan (illegal logging) di Papua.
"Pernah dalam satu acara ditolak, khususnya bapak-bapaknya. Namun kita coba tanya kepada ibu-ibu. Padahal itu tidak boleh secara adat. Tapi ibu-ibu justru mendukung," tutur Ronald.
Perhutani, menurut Rhonald, juga membentuk Lembaga Masyakat Desa Hutan (LMDH) yang anggotanya adalah warga lokal. LMDH ini sebagai mediator antara pihak perusahaan dan warga.
Salah satu anggota LMDH adalah mantan kepala kampung Kais. "Kalau ada apa-apa di warga, mereka dulu yang tampung," ujarnya.
Ronald menjelaskan, warga Kais dan sekitarnya akan sangat terbantu dengan adanya pabrik sagu ini. Warga akan dilibatkan sebagai pemasok batang sagu ke pabrik.
Perhutani akan membeli batang sagu yang ditebang oleh warga. Total konsesi lahan sagu yang diterima Perhutani seluas 17.000 hektar. Produksi tepung sagu ditargetkan bisa mencapai 100 ton per hari.
(feb/hds)