Salah satu masalah adalah perizinan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah seperti di Indonesia, Vietnam dan Filipina ditengarai mengancam pembangunan lingkungan berkelanjutan. Sebab tata kelola industri ekstraktif di kawasan Asia Tenggara dinilai belum baik.
Dalam daftar Resource Governance Index yang dirilis tahun 2013, Indonesia berada di peringkat 14 dari 58 negara yang disurvei untuk urusan tata kelola sumber daya alam. Timor Leste yang menempati peringkat 13 atau di atas Indonesia. Sedangkan Vietnam dan Filipina masuk di peringkat 43 dan 23.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia melimpahnya sumber daya alam mampu mengundang investor dan terkumpulnya perputaran uang dalam jumlah besar serta memberi peluang bagi masuknya teknologi maju. Namun manfaat dari industri ekstraktif ini hanya dirasakan oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi lokal.
"Demokrasi ekonomi menjadi tidak jalan, keuntungan yang didapat seharusnya bisa memberdayakan masyarakat," katanya.
Menurutnya pembangunan ekonomi dari kegiatan ekstraktif seharusnya banyak melibatkan partisipasi masyarakat. Adapun masyarakat sipil dan akademisi juga perlu mengawasi dampak sosial dan lingkungan yang kemungkinan bisa muncul di kemudian hari.
"Satu sisi kita mendorong pembangunan ekonomi, di sisi lain juga perlu mengerem masalah lingkungan. Semuanya butuh inovasi dan kreativitas," katanya.
Sementara itu Bupati Kolaka, Sulawesi Tenggara, Ahmad Safei mengatakan daerahnya merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi kandungan bahan tambang seperti bauksit dan nikel yang kini dikeloa PT Vale Indonesia dan PT Antam.
Namun pemerintah daerah hanya kebagian dana CSR (Corportae Social Responsibility) dari perusahaan tambang. Untuk royalti diurus oleh pemerintah pusat. "UU Minerba tidak menyinggung dana untuk daerah, yang ada perusahaan tambang membayar royalti kepada negara," kata Syafei.
Perusahaan tambang idealnya menyediakan dana untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya dalam bentuk program CSR saja. Sebab kalau dalam bentuk CSR dananya dipastikan tidak signifikan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Hal senada juga diungkapkan Gubernur Compostela Valley, Filipina Augusto Blanco, menurutnya konstitusi Filipina telah mengakui, menghormati, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat, yang akhirnya dituangkan dalam Indigenous Poeples Right Act (IPRA), Republic Act No 8371. Kelanjutan dari UU tersebut dengan didirikan Komisi Nasional Masyarakat Adat (National Commision on Indogenous Peoples-NCIP).
Menurutnya, dari konstitusi ini tidak boleh ada tanah leluhur yang dibuka untuk kegiatan pertambangan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat.
"Pembayaran royalti atas pemanfaatan sumber daya alam juga harus disepakati dengan masyarakat adat sebagai bagian dari dana untuk kegiatan sosial ekonomi kesejahteraan masyarakat adat," kata Blanco.
(bgs/hen)