Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku pusing dengan birokrasi di Indonesia yang berbelit-belit. Ia mencontohkan soal pasokan BBM untuk kapal-kapal TNI hingga penyediaan elpiji 3 Kg untuk nelayan.
"TNI Al mau bantu tangkap kapal-kapal yang melakukan illegal fishing, butuh 250 ton BBM barangnya nggak bisa karena harus kontrak dulu, ini yang buat pusing, saya nggak tahu birokrasi macam apa," kata Susi di acara seminar Upstream Transformation Annual Hulu Day 2014 di Kantor Pertamina Pusat, Jakarta, Selasa (18/11/2014).
Ia menceritakan soal peristiwa blusukan ke para nelayan di Kalimantan, ada nelayan yang mengeluh karena tak bisa beli tabung elpiji 3 Kg. Padahal nelayan tersebut bisa mengkonversi penggunaan BBM di kapal ke bahan bakar gas (BBG).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya karena aturan tersebut, membuat nelayan tak bisa menggunakan elpiji 3 Kg, karena produk elpiji subsidi ini hanya untuk kegiatan memasak masyarakat tak mampu.
"Saya katakan mohon maaf bapak saya sekarang ini abdi negara. Karena ada aturan yang melarang jadi saya tidak bisa bantu, mohon maaf sekali," katanya.
Susi mengaku kesal, aturan-aturan yang dibuat pemerintah justru menyandera dan tidak berpihak kepada rakyat kecil seperti nelayan.
"Saya pikir kok aturan dibuat nggak ada common sense kan dia nelayan cari duit ya untuk ibu rumah tangga juga, di nelayan kecil sudah pasti UMKM, dia benar-benar mikro. tapi kok nggak bisa beli elpiji 3 kg, katanya ada Perpres saya lupa nomor berapa, dan Pertamina juga yang melarangnya," tegasnya.
Menurutnya hal-hal semacam ini lah yang membuat dirinya pusing akibat birokrasi yang justru menyandera, karena mempersulit.
"Saya kadang-kadang tidak mengerti sendiri, kalau sudah buntu saya pulang kerja saja, ada hal yang simpel kok dibuat susah," tutupnya.
Selain itu, ada lagi yang membuat mantan Bos Susi Air ini pusing yaitu soal aturan zona tangkap ikan bagi para nelayan di dalam negeri.
"Pusing saya, seperti ada aturan zonasi laut, laut itu seperti dikapling-kapling, kalau di daerah nelayannya hanya boleh tangkap ikan dari jarak bibir pantai sampai 4 mil atau 0-4 mil dari daerahnya, kalau provinsi jaraknya 0-12 mil," ungkap Susi.
Ketentuan ini berdampak terhadap konflik antar nelayan di dalam negeri, bahkan sampai terjadi pembakaran kapal karena merasa ikan wilayahnya diambil ikan dari nelayan daerah lain.
"Jadi kejar-kejaran nelayan Cilacap kejar nelayan orang Jawa Timur, yang nelayan Jawa Tengah balik kejar nelayan Jawa Timur karena ikan yang ditangkap ikan wilayahnya, memangnya ikan ada KTP-nya," tegas Susi.
Menurut Susi, kondisi ini terjadi akibat berlakunya undang-undang Otonomi Daerah yang membuat laut seperti terkapling atau terzonasi.
"Kok bisa? tanya sama yang bikin Undang-Undang Otonomi Daerah. Ini dampaknya serius sampai terjadi kontak fisik antar nelayan kita, sampai ada kapal yang dibakar," ungkapnya.
"Aturan-aturan seperti ini yang harus banyak diganti, kalau selesai, saya bisa berhenti total merokok, pusing karena ngurusih hal seperti ini. Orang kita itu biar rugi susah sedikit asal sesuai aturan," tutupnya.











































