Hal ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit kepada detikFinance, Kamis (27/11/2014).
Anton mengakui memang saat ini di seluruh dunia, ada tren buruh mendesak kenaikan upah yang lebih tinggi. Namun upah yang tinggi akan berpotensi menekan tambahan serapan tenaga kerja baru di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kepentingan buruh soal upah soal menuntut perbaikan nasib, kalau pengusaha punya kepentingan meminta soal produktivitas kerja buruh, pihak ketiga ini yang tak diwakili adalah pihak pencari kerja," kata Anton.
Menurut Anton biasanya dalam setiap dewan pengupahan di daerah dan pusat ada 13 anggota yang terdiri dari wakil buruh,wakil pengusaha, wakil pemerintah, dan terakhir kalangan akademisi. Kalangan akademisi ini lah yang seharusnya berperan untuk mewakili para pencari kerja.
"Ada sebuah survei sebanyak 60% dari jumlah pengangguran terbuka yang mencapai 7 juta orang, dan orang-orang yang kena PHK, sekarang mereka putus asa belum dapat kerja," kata Anton.
Anton menambahkan saat ini dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, terdapat 125 juta angkatan kerja. Dari jumlah itu, sebanyak 54 juta orang sebagai pekerja dengan pendidikan maksimal sekolah dasar (SD). Selain itu, selain ada 7 juta orang yang menganggur (terbuka), ada 34 juta orang yang bekerja separuh waktu atau separuh menganggur.
"Jadi kalau kenaikan UMP tinggi maka penciptaan lapangan kerja makin sulit. Orang-orang itu punya hak dapat pekerjaan juga," katanya.
Ia kembali mengingatkan kepada buruh bila ingin penghasilan tinggi maka caranya bisa melakukan negosiasi gaji dengan perusahaan masing-masing, bukan mendesak kenaikan UMP/UMK naik tinggi setiap tahun. Apalagi selain mempertimbangkan masih banyak orang yang menganggur, juga tak semua perusahaan bisa menanggung beban kenaikan UMP yang tinggi.
"Saya tekankan lagi bahwa upah minimum itu memang tak boleh tinggi, itu hanya untuk lajang dan masa kerja 1 tahun, setelah 1 tahun bisa melakukan negosiasi dengan perusahaan," katanya.
(hen/hds)