Dicurhati Nelayan dan Pengusaha Ikan, Titiek Soeharto: Saya Sangat Prihatin

Dicurhati Nelayan dan Pengusaha Ikan, Titiek Soeharto: Saya Sangat Prihatin

- detikFinance
Rabu, 21 Jan 2015 14:14 WIB
Jakarta - Wakil Ketua Komisi IV DPR Titiek Soeharto menanggapi keluhan nelayan dan pengusaha ikan yang datang ke Komisi IV DPR-RI, hari ini. Para nelayan dan pengusaha ikan mengeluhkan berbagai kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Titiek, yang merupakan putri mantan Presiden Soeharto ini mengaku sedih melihat nasib nelayan saat ini. Bahkan ia juga sempat menyebutkan kata prihatin.

"Saya sangat prihatin mendengar masukan, dan sangat ironis Indonesia punya laut yang besar dan masih banyak nelayan hidup di garis kemiskinan," katanya saat menutup dengar pendapat di Komisi IV DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (21/01/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengatakan seharusnya sudah menjadi tugas negara menjadikan nelayan hidup layak. Namun justru hidup nelayan semakin susah saat Menteri Susi menerbitkan beberapa kebijakannya.

"Justru menteri yang berasal dari golongan bapak (nelayan) justru tidak peka dan mengeluarkan peraturan menteri (Permen) yang lain," tambahnya.

Ia berkomitmen setelah pertemuan ini, akan bertemu dan menyampaikan aspirasi ke Menteri Susi. Semua keluhan dari pengusaha dan nelayan akan ditampung dan dirumuskan dengan anggota DPR lain untuk disampaikan ke Menteri Susi.

"Kami akan bertemu bu Susi dan kami akan sampaikan semua. Peraturan menteri bisa didiskusikan oleh masyarakat perikanan. Terus terang kenapa saya masuk? Ingin mengangkat nelayan dan petani agar dapat hidup layak," jelasnya.

Berikut ini beberapa keluhan nelayan dan pengusaha perikanan soal aturan yang dikeluarkan Menteri Susi yaitu:

1. Permen KP No. 56/2015 tentang moratorium. Secara umum HNSI setuju atas aturan moratorium yang berlaku kepada kapal eks asing. Tetapi menurut catatan HNSI tidak semua kapal eks asing melanggar. HNSI meminta Menteri Susi mempercepat proses verifikasi kapal agar kapal eks asing bisa beroperasi kembali.

2. Permen KP No. 57/2015 tentang larangan transhipment. Secara umum HNSI setuju atas aturan transhipment ini terutama bagi kapal yang mengirim langsung ikan keluar negeri. Tetapi kalau dikenakan pada pola kemitraan lokal ini HNSI menilai aturan ini akan mematikan kapal nelayan lokal.

3. Permen KP No. 1/2015 tentang pelarangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan bertelur dan bibit. HNSI keberatan karena mayoritas nelayan di Indonesia Timur berprofesi sebagai eksportir bibit lobster keluar negeri. Menurut catatan HNSI, di Provinsi NTB saja volume ekspor bibit lobster mencapai 8-12 juta ekor per tahun dengan pendapatan senilai Rp 160 miliar.

4. Permen KP No. 2/2015 tentang larangan alat tangkap trawl atau jaring pukat. HNSI menilai tidak semua trawl merusak lingkungan. HNSI pada intinya sepakat dengan Menteri Susi harus menjaga lingkungan. Namun bagi HNSI, ada kearifan lokal yang tidak dipahami Menteri Susi. Di Sumatera Utara (Sumut) semua kapal penangkap ikan teri menangkap dengan pukat, tetapi populasi ikan teri tidak pernah habis .

(wij/hen)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads