Saat banjir besar menyerang Jakarta pada akhir 2012 lalu, Pemprov DKI Jakarta cepat tanggap merencanakan berbagai macam proyek. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum, tidak mau ketinggalan untuk ikut membangun proyek penangkal banjir itu.
Sayang, tak semua proyek benar-benar direncanakan dengan matang dan direalisasikan. Meski ada juga yang benar-benar dikerjakan hingga kini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harusnya ada banjir atau nggak ada banjir itu terus dikerjakan. Harus ada yang mengawal," kata pengamat tata kota Yayat Supriyatna saat berbicang dengan detikFinance, Jumat (13/2/2015).
Awalnya, pemerintah sangat serius untuk membangun proyek ini. Bahkan Presiden Joko Widodo yang kala itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sempat berguru ke Malaysia yang telah sukses membangun proyek yang sejenis bernama SMART Tunnel.
Mega proyek yang juga disebut terowongan raksasa ini tak hanya mampu mengatasi banjir. Di musim kemarau, proyek ini dinilai bisa mengurai kemacetan karena bisa dilintasi kendaraan, layaknya underpass atau terowongan jalan. Pertanyaannya kini, akankah Jokowi meneruskan proyek ini saat punya kuasa lebih tinggi?
Tidak hanya itu, ada juga proyek Waduk Ciawi di Bogor yang juga sangat lelet realisasinya. Mulai dicanangkan sejak 3 tahun lalu, pembebasan lahan ditargetkan baru rampung tahun ini. Bedanya dengan proyek terowongan raksasa, Jokowi telah memberi komando langsung pada Pemprov DKI dan Jawa Barat untuk mempercepat pembebasan lahan.
Proyek ini juga sempat menuai pro kontra karena dinilai tidak terlalu signifikan kontribusinya mengatasi banjir. Tidak sepadan dengan anggaran yang harus dikeluarkan untuk waduk berkapasitas 11,8 juta meter kubik ini.
Yayat menuturkan, persoalan dari lambatnya proyek-proyek tersebut adalah karena perencanaan yang kurang matang. Selain itu pula, tidak ada pihak yang betul-betul mengawal dan bertugas mengerjakan proyek-proyek tersebut. Alhasil, proyek itu hanya gagah di awal tetapi melempem di implementasi.
"Tunjuk satu orang untuk mengawal dan mengerjakan itu sampai selesai. Siapa? Ditjen Sumber Daya Air, Menteri PU, siapa yang bisa menggerakkan dari pusat sampai ke daerah, yang mau menanggung resiko," papar Yayat.
Jika tidak dilakukan, Yayat ragu proyek-proyek tersebut akan selesai sesuai dengan yang diharapkan. "Harus diberi tanggung jawab. Diberi target misalnya berapa tahun harus selesai. Fokus mengerjakan itu, biar nggak dianggap angin lalu harus ada kaptennya" tegas dia.
"Ada banjir nggak ada banjir, terus kerjakan. Selamatkan Jakarta, daripada rugi triliunan akibat banjir, mending keluarkan uang triliunan untuk bangun proyek," sambung Yayat.
(zul/hds)