"Upayanya ialah memperbaiki sektor hulu. Di hulu itu harus kuat. Produktivitas juga harus tinggi. Termasuk di hilir, teh harus ada varian produk. Jadi permintaan teh itu bisa meningkat," kata Direktur Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Karyudi, di sela-sela menerima kunjungan sejumlah jurnalis dan rombongan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian di Kebun Gambung, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/3/2015).
Menurut Karyudi, komoditas teh jangan hanya sebagai minuman penyegar saja, tapi bisa difungsikan dengan sentuhan-sentuhan inovatif. Dia menegaskan, teh punya potensi dikembangkan menjadi produk-produk komersial yang bermanfaat untuk masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kelebihan teh yakni bisa dicampur dengan ginseng dan lemon. Jadi, teh itu kesannya bukan obat sehingga siapapun bisa minum teh. Teh bisa juga sebagai campuran bahan makanan. Teh ini memiliki kandungan antioksidan yang sangat bagus untuk kesehatan," ucap Karyudi menambahkan.
Indonesia menempati posisi tujuh dunia di antara negara penghasil teh utama berdasarkan data International Tea Committee pada 2013. Data tersebut menyebutkan, Indonesia hanya memproduksi 145.460 ton atau 3,2 persen dari produksi teh dunia sebesar 4,6 juta ton. China di peringkat puncak yang disusul India, Kenya, Srilanka, Vietnam, dan Turki.
Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian pada 2014 menyatakan, perkebunan teh mencapai 121.034 hektar dengan produksi 143.751 ton. Saat ini sentra pengembangan teh di Indonesia ialah Jawa Barat dengan luas areal 93.520 hektar atau 77,27 persen dari luas areal teh nasional.
Total areal tersebut diusahakan dalam bentuk Perkebunan Rakyat seluas 47.920 hektar (51,24%), Perkebunan Besar Negara seluas 25.011 hektar (26,74%), dan Perkebunan Besar Swasta seluas 20.589 hektar (22,02%).
Soal ekspor teh Indonesia, pada 2013 mencapai 70,8 ton dengan nilai US$ 157,5 juta. Untuk impor sebesar 20,5 ton dengan nilai US$ 29,3 juta. Selama enam tahun terakhir, volume ekspor teh Indonesia grafiknya cenderung turun dari tahun ke tahun. Sementara impor memperlihatkan peningkatan tiap tahunnya.
Rendahnya produksi teh disebabkan sebagian besar arealnya merupakan perkebunan rakyat, yang pengelolaannya belum memenuhi standar teknis, selain itu mayoritas teh Indonesia ialah tanaman teh tua serta populasinya masih di bawah standar.
Ditjen Perkebunan menyampaikan, alih fungsi lahan perkebunan teh menjadi kawasan wisata telah memicu penurunan di skala Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta yang rata-rata 1.113 hektar per tahun.
"Perlu diperhatikan juga teknik budidaya. Termasuk pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan pemetikannya. Kalau semuan itu diperbaiki, mudah-mudahan produktifitas ada peningkatan," tutur Karyudi.
Dewan Teh Indonesia (DTI) menganggap permasalahan rantai nilai pertehan Indonesia selama ini ialah kemacetan sustainability dalam pengelolaan perkebunan teh, ada gap cukup besar dalam distribusi perjalanan, dan PPN membebani harga jual di sektor hulu, sehingga mengurangi daya saing produk teh. DTI mencanangkan program Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN) yang bermaksud mewujudkan teh berdaya saing tinggi, berkualitas, dan petani teh sejahtera.
DTI mengusulkan, sejumlah kebijakan pembangunan pertehan Indonesia yang antara lain pemerintah perlu membuat regulasi untuk melindungi produksi dalam negeri dan mengamankan pasar domestik, membuat regulasi mengenai syarat kualitas pucuk teh dan produk teh, membuat regulasi mengenai formula harga pucuk, dan memfasiitasi penguatan kelembagaan petani.
PPTK Gambung sebagai lembaga penelitian berkepentingan untuk mengembangkan inovasi komoditas teh terdiri teh hitam, hijau, dan putih. "Teh Indonesia ingin bangkit dan jaya, maka konten inovasinya harus ada. Karena itu kami terus berinovasi," ucap Karyudi.
(dnl/ang)