Purba mencurahkan keberatannya atas aturan moratorium yang dikeluarkan Susi. Akibat dari kebijakan itu, usaha penangkapan ikan miliknya tiarap dan bakal gulung tingkar.
"Sekarang pun kami sudah rumahkan 130 ABK (Anak Buah Kapal), kita tidak bayar sesuai gaji dan tentu berkurang penghasilan ABK. Sehingga kebutuhan keluarga sangat prihatin sekali. Kami mohon ada 1 kebijakan kepada perusahaan yang tidak ditemukan pelanggaran yang berat," katanya kepada Susi di Gedung Mina Bahari I, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Kamis (18/6/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada 2 kapal yang sudah kami jual namanya KM Mitra Mas I dan KM Mitra Mas 8. Dijual baru minggu yang lalu. Dampak kerugiannya, kami sangat susah sekali. Perusahaan berhutang Rp 50 miliar dan 2 kapal itu hanya dijual dalam bentuk besi loakan harganya Rp 2.500/kg. 2 kapal itu beratnya 600-700 ton," tuturnya.
Purba memang mengakui kapal-kapal miliknya adalah kapal eks asing atau berasal dari luar negeri. Secara total ia memiliki 14 kapal di mana 5 kapal berasal dari Filipina, yang terbagi menjadi dua jenis kapal yaitu 4 jenis kapal Like Boat dan 1 kapal jenis Catcher. Sisanya adalah kapal tangkap dan angkut yang diperolehnya dari negara Jepang.
"Kami sudah berhenti beroperasi, tidak tahu harus seperti apa," keluhnya.
Lalu bagaimana tanggapan Susi Pudjiastuti? Susi menegaskan, kapal-kapal eks asing memang dilarang beroperasi karena sedang dilakukan proses Anev (analisis dan evaluasi). Setelah Anev selesai, maka SIPI dan SIKPI kapal bisa didapat dengan persyaratan khusus seperti kewajiban mendaftarkan BPJS bagi ABK kapal, penggunaan alat sensor deteksi baru, hingga penggunaan alat tangkap ramah lingkungan.
"Jadi nanti kita bahas terbuka saja. Nanti kita akan kembali bicarakan. Kita akan buka-bukaan," tantang Susi.
(wij/rrd)