Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR Velix Wanggai menjelaskan, Menteri PUPR Basuki Hadumuljono menyiapkan 3 langkah strategis, sebagai upaya pengentasan tingginya harga tersebut.
"Pertama, adalah mempercepat ketersediaan infrastruktur dasar wilayah. Kedua, mendekatkan sentra-sentra produksi berpola hilirisasi pertanian, kehutanan, dan pertambangan. Dan, ketiga merumuskan regulasi yang pro pembangunan, agar pembangunan infrastruktur di Pulau Papua bersifat berkelanjutan," papar dia dihubungi detikFinance, Jakarta, Rabu (22/7/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Guna merealisasikan komitmen itu, dalam Tahun Anggaran 2015 ini, Kementerian PUPR alokasikan dana ke Papua dan Papua Barat sekitar Rp 9,5 triliunan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Pusat, dan Dana Alokasi Khusus (DAK Infrastruktur) sebesar Rp 3,9 triliunan. Alokasi itu untuk jalan dan jembatan, air minum, sanitasi, pengairan, dan infrastruktur permukiman," papar dia.
Langkah strategis kedua, lanjut Velix, yakni pembangunan infrastruktur Kementerian PUPR, guna mendukung sentra-sentra produksi pangan dan peternakan, sentra kawasan industri, dan kawasan wisata. Hal ini sesuai desain kewilayahan Pulau Papua, yang telah dirancang dalam RPJMN Tahun 2015-2019.
"Dalam 5 tahun ke depan, pemerintah menetapkan 5 Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) berbasis Wilayah Adat di Provinsi Papua," sambung dia.
Velix melanjutkan, wilayah-wilayah itu mencakup wilayah adat Saereri (wilayah Kepulauan Teluk Cenderawasih), wilayah adat Mamta (Kabupaten Mamberamo hingga Kota Jayapura), wilayah adat Me Pago (di wilayah Pegunungan Tengah sisi barat). Sedangkan, 2 KPE wilayah adat lainnya adalah, wilayah La Pago (wilayah Pegunungan Tengah sisi timur) dan wilayah adat Ha'anim (Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi dan Boven Digul).
"Sejalan dengan pendekatan wilayah adat ini, Pak Menteri PUPR Basuki Hadimuldjono menargetkan dalam 3 tahun ke depan Trans Papua dapat menghubungkan 5 wilayah adat. Misalnya saja, di wilayah adat Mamta, dibangun jalan Depapre-Bongkrang, Jayapura-Wamena-Mulia, dan jembatan Holtekamp," jelas Velix.
Tak hanya Hiltekamp, infrastruktur strategis lainnya adalah pembangunan jalan Wamena-Habema-Kenyam yang akan menjadi akses jalan ke Pegunungan Tengah ke selatan Papua serta penghubung wilayah adat Me Pago dan La Pago akan dibangun ruas jalan Enarotali-Tiom.
Selain jalan penghubung, infrastruktur strategis lainnya yang dipercepat pembangunannya oleh Kementerian PUPR adalah reklamasi Rawa Kurik, dan pembangunan embung dan irigasi untuk mendukung Merauke, sebagai lumbung pangan nasional di wilayah adat Ha-anim.
Untuk Provinsi Papua Barat, Kementerian PUPR mempercepat akses jalan di Kawasan Industri Teluk Bintuni dan Kawasan Arar Sorong, peningkatan jalan ke kawasan peternakan di Bomberai Fakfak, maupun peningkatan kualitas jalan Manokwari-Bintuni, dan kawasan Pegunungan Arfak.
"Dalam menangani jalan di kawasan Pegunungan ini, Menteri Basuki telah mengunjungi akses jalan di Kabupaten Ilaga Papua dan Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua Barat beberapa waktu lalu," ujar Velix.
Terakhir untuk langkah strategis ketiga, adalah merumuskan regulasi anggaran berpola tahun jamak (multiyears contract) guna mendukung percepatan pembangunan Trans-Papua.
"Hal ini agar pembangunan di Papua tidak dijadikan sebagai proyek dadakan untuk mencari simpati melainkan pembangunan yang berkelanjutan tetap berjalan, meski pimpinannya telah berganti," jelasnya.
Selain itu, Kementerian PUPR tetap memberi ruang bagi pengusaha asli Papua ikut serta dalam pelaksanaan proyek-proyek sesuai Perpres No. 84/2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Khusus di Wilayah Papua dan Papua Barat. "Hal ini sebagai komitmen pemberdayaan bagi penduduk asli Papua," sambungnya.
Demikian pula, regulasi Perpres No.2/2015 perihal RPJMN 2015-2019, telah meletakkan desain pengembangan infrastuktur wilayah Pulau Papua. Hal ini menjadi pedoman bagi Kementerian PUPR di dalam membangun wajah infrastruktur PUPR di Pulau Papua 5 tahun ke depan.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa minimnya ketersediaan infrastruktur menjadi penghambat utama penyediaan layanan di Papua dan Papua Barat, serta kawasan Indonesia Timur lainnya. Kondisi ini pula yang menyebabkan harga-harga barang di pulau besar di ujung timur Indonesia ini melambung tinggi.
Mahalnya harga-harga kebutuhan pokok seperti semen Rp 2 juta per sak di kawasan Pegunungan Tengah Papua, telah menyebabkan lambatnya pelayanan pembangunan ke masyarakat di pedalaman Papua.
"Harapannya, ketiga langkah strategis itu, dapat menurunkan harga dan menggerakan ekonomi regional Papua, sekaligus sebagai simbol hadirnya negara di kawasan-kawasan pinggiran di Tanah Air," tutup Velix.
(dna/dnl)











































