Kepala Bidang Kepatuhan Badan Karantina, Joni Anwar mengatakan, penyakit dan kualitas daging celeng tidak bisa dipastikan.
"Dari segi keamanan pangan tidak bisa dijamin. Tidak safety (aman), dipotong dengan cara apa, mengandung penyakit atau tidak. Daging sapi dari pasar saja kalau sehari tidak masuk kulkas sudah bau dan tidak layak. Daging celeng ini berhari-hari di jalan. Kondisinya tentu tidak layak konsumsi," jelas Joni saat penggerebekan rumah penadah daging celeng ini, di Kampung Jatibulak, Bekasi Timur, Jumat (24/7/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Daging celeng dioplos dengan daging sapi, ini yang harus dicegah. Produk turunan lain yaitu minyak celeng yang bisa dipakai untuk substitusi minyak babi," kata Joni.
Menurut Joni, daging celeng ini sering berasal dari Sumatera. Celeng atau babi hutan sering diburu di ladang sawit Sumatera karena dianggap hama.
"Para penjaga lahan sawit menangkap celeng-celeng ini ya karena mengganggu tanaman sawit. Tidak ada nilainya dari sana. Paling hanya ongkos angkut Rp 5.000/kg," ungkap Joni.
"Dari awal daging celeng dibawa dari Bengkulu itu sudah pelanggaran UU Karantina No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Masuk ke Jawa tidak dilengkapi dokumen karantina. Tidak memenuhi sertifikat Karantina, syarat sanitasi yang baik, dan jaminan bebas penyakit," tutur Joni.
(dnl/ang)