Apalagi, dengan menguatnya mata uang dolar AS membuat industri konsmetik yang banyak menggantungkan pada bahan baku impor makin tertekan.
"Tentunya dengan naiknya nilai dolar tidak menguntungkan industri kosmetik yang masih banyak menggunakan bahan baku luar. Makanya ini saatnya industri kosmetika lebih banyak lagi menggunakan bahan baku dalam negeri," kata Putri K. Wardhani, Ketua Perhimpunan Pengusaha dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (PPA Kosmetika) sekaligus CEO Mustika Ratu, ditemui di Kementerian Perindustrian, usai pembukaan pameran industri kosmetik dan jamu, Selasa (1/9/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan nilai tukar yang cukup rendah untuk rupiah ini, produk luar yang berbasis dolar atau mata uang lainnya menjadi cukup mahal apabila dijual di pasar dalam negeri. Ini kesempatan kita para pelaku usaha nasional untuk meraih kesempatan ini. Juga untuk ekspor ke area-area yang memiliki dampak ekonomi yang tidak terlampau besar mungkin ASEAN, Eropa sudah terlalu banyak mengalami masalah sendiri, sehingga kesempatan untuk keluar masuk ke sana menjadi sulit," jelasnya.
Menurut Putri, peluang industri kosmetik untuk ekspor punya potensi besar khususnya produk kosmetik berbasis herbal. Semakin banyak kesadaran masyarakat akan kesehatan maka kesempatan untuk produk-produk Indonesia yang berbasis budaya semakin besar.
Upaya yang bisa dilakukan industri kosmetik lokal saat ini untuk tetap mempertahankan ekspornya yaitu dengan menyiasati negara tujuan ekspor.
"Saat ini pasar kosmetik ASEAN dan Eropa sedang terkena dampak cukup besar dari kondisi ekonomi ini, maka tentunya daerah-daerah di luar itu. Nanti tentunya dengan kepulihan mereka, bisa kembali masuk ke sana. Saat ini kita menyiasati pasar ke negara-negara yang kecil terkena dampak kondisi ekonomi. Timur Tengah bisa, Afrika, Amerika juga bisa," tuturnya.
Terkait bahan baku produk kosmetik yang impornya masih besar, kata Putri memang tidak bisa dipungkiri. Apalagi untuk produk yang memakai franchise asing.
"Menperin mengatakan tadi masih 90% produk kosmetik bahan bakunya dari impor. Mungkin itu adalah produk yang pakai franchise nama asing. Mereka pakai global resourching jadi kalau mau pakai substitusi tidak mudah. Mereka harus izin ke pusat dan harga bisa jadi mahal karena selama ini mereka memproduksi dalam volume yang besar," jelasnya.
Sebagai gantinya, ia menyarankan industri asing harus bisa dibawa untuk investasi mendirikan pabrik ke Indonesia. Selain itu, bisa dengan memberi insentif kepada pelaku usaha agar mau memakai bahan baku lokal lebih banyak lagi.
"Seperti Menperin katakan, kalau di ponsel ada TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri), di kosmetik juga mestinya ada. Mungkin harus bisa diberi insentif agar mereka mau menggunakan bahan baku lokal," imbuhnya.
Tantangan industri kosmetik lokal pun saat ini termasuk dari segi persaingan bisnis dengan produk kosmetik ilegal.
"Kosmetik illegal masuk tidak dengan resmi membayar bea masuk cukai, pajak. Tentu itu akan merugikan dengan nilai tukar seperti ini. Mereka masuk dengan tidak formal maka kesempatan saingnya tetap lebih besar. Tahun 2012 jumlahnya sekitar 20% dari peredaran barang Kosmetika nasional," pungkasnya.
(rrd/rrd)