Darmaningtyas menjelaskan, tarif kereta cepat Jakarta-Bandung sekitar Rp 200.000 per penumpang dibuat berdasarkan asumsi jumlah penumpang mencapai 44.000 per hari pada tahun pertama dan meningkat menjadi 68.000 penumpang pada 2030, selanjutnya 148.000 penumpang pada 2050.
"Bagaimana jika ternyata target penumpang tersebut tidak terpenuhi? Apakah perusahaan Jepang atau China mau menanggung kerugian tersebut?" tanya Darmaningtyas saat konferensi pers di Gedung Sarinah, Jakarta, Kamis (3/9/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya di banyak negara, sudah terbukti bahwa pengoperasian kereta cepat tak ekonomis sehingga malah menjadi beban 'seumur hidup' pemerintah.
"Pemerintah perlu belajar dari pengoperasian kereta cepat di Taiwan, Belanda, dan Spanyol yang pada akhirnya membuat pemerintah keluar subsidi," katanya.
Berdasarkan datanya, total ada 145.518 orang yang melintas Jakarta-Bandung per hari, 127.133 diantaranya menggunakan mobil pribadi, hanya 2.000-2.500 yang menggunakan kereta api Agro Parahyangan. Selain itu, tercatat sebanyak 13.000-14.000 menggunakan travel bus kecil, dan penumpang bus besar hanya kurang dari 1.000.
"Artinya, total pengguna angkutan umum kurang dari 20.000 per hari," tandasnya.
Dari hitungan itu saja, target penumpang kereta cepat yang 44.000 per hari agak mustahil tercapai. Darmaningtyas memperkirakan hanya sekitar 25 % dari 20.000 penumpang angkutan umum yang mau pindah ke kereta cepat.
"Sebab tarifnya terlalu tinggi bagi komuter. Sedangkan pengguna mobil pribadi belum tentu mau pindah ke kereta cepat," paparnya.
Pengguna mobil pribadi enggan berpindah ke kerera cepat karena transportasi dalam kota di Jakarta maupun Bandung masih buruk. Selain itu, mobil pribadi bisa 'point to point' dan jadwalnya fleksibel.
"Lalu siapa yang mau naik kereta cepat?" tanyanya.
(hen/hen)