Hasil Aturan Susi, Tangkapan Ikan Nelayan Palu Meningkat 2 Kali Lipat

Hasil Aturan Susi, Tangkapan Ikan Nelayan Palu Meningkat 2 Kali Lipat

Dana Aditiasari - detikFinance
Selasa, 17 Nov 2015 12:32 WIB
Jakarta - Moratorium Izin Kapal Tangkap Asing yang diberlalkukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah mulai dirasakan dampak positifnya oleh para nelayan. Salah satunya seperti dirasakan oleh nelayan di Palu, Sulawesi Tengah.

Jumlah tangkapan ikan rata-rata para nelayan sekali melaut naik hingga 2 kali lipat dibanding sebelumnya.

"Waktu belum ada moratorium itu kita sekali tangkap hanya dapat 5 ton ikan tongkol. Sekarang bisa sampai 10 ton. Sekali tangkap itu hitungannya 1 malam," ujar Mada seorang nelayan ditemui detikFinance di Pelabuhan Perikanan Donggala, Sulawesi Tengah, Selasa (17/11/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengaku, sekali melaut dirinya dan rekan-rekan sesama nelayan bisa menghabiskan waktu‎ 4-7 hari atau 4-7 kali tangkap. "Rata-rata sekali melaut kita bisa bawa pulang 50 ton. Kalau sedang banjir bisa 70 ton," jelas dia.

Hasil tangkapan yang melimpah ternyata belum diimbangi dengan harga yang baik di tingkat nelayan. "Rata-rata hanya dihargai Rp 3.000/kg. Padahal itu ikan segar. Kalau harga bagus itu Rp 15.000/kg," ujar dia.

Penyebabnya, sambung mada, adalah keterbatasan jumlah tempat pelelangan ikan atau yang biasa dikenal nelayan dengan tempat pelemparan ikan. Di Sulawesi Tengah ini, kata dia, tempat pelelangan ikan hanya ada satu yakni di Palu.

"Kalau bagus harganya bisa Rp 15.000/kg. Tapi hanya bisa 2 kapal. Kalau sudah 2-3 kapal masuk pelemparan, kapal yang lain harganya langsung terjun‎ jadi Rp 3.000/kg," aku dia.

Bila dihitung kasar dengan harga ikan tongkol Rp 3.000/kg sebenarnya nelayan sudah bisa mendapat pemasukan yang lumayan mencapai Rp 150 juta sekali melaut. Sayang, kenyataan berkata lain.

Bagi kapal yang tak bisa menjual ikannya ke pelemparan ikan hanya bisa menjual hasil tangkapannya ke pasar-pasar kecil atau menjualnya di pinggir jalan. Bila tak terjual, terpaksa ikan yang sudah ditangkap dibuang lagi ke laut.

"Karena kalau kita makan sedniri nggak sanggup toh. 50 ton dibagi sekeluarga pun masih sisa banyak," ujar dia sembari tertawa.

Kondisi ini sebenarnya bukan tanpa solusi. Ikan-ikan yang tak bisa dijual sebenarny bisa disimpan di ruang pendingin atau cold storage sehingga bisa dijual manakala pasokan ikan sedang menipis.

Sayangnya, tak banya tersedia cold storage alias lemari pendingin di tempat ini. Hal ini merupakan imbas dari terbatasnya pasokan listrik di Sulawesi.

"Kalau ada orang yang tanya di Sulawesi ini lampu padam berapa kalu seminggu? Weeeeh.... setiap hari padam. Bukan 1-2 jam lagi, padamnya bisa sehari semalam," tutur Cora, nelayan lain yang ditemui detikFinance.

"Kalau ada perusahaan bangun usaha di Sulawesi ini mungkin nggak lama usianya sudah tutup. Karena listrik nggak ada. Bikin esbatu, bikin lemari pendingin kan butuh listrik toh. Tapi listriknya nggak ada," sambung Cora.

Masalah lainnya adalah keterbatasan jumlah bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang dibutuhkan untuk melaut. "Ini juga jadi masalah," ujar Erdin, nelayan lainnya.

Ia mengaku, sekali melaut rata-rata setiap kapal buth 5 drum‎ solar. Setiap drum berisi 200 liter BBM. Artinya sekali melaut setiap kapal butuh hingga 1.000 liter BBM.

"Harga sih ikut harga Pertamina. Tapi pasokannya sering kosong. Tolong ini jadi perhatian. Kalau nggak ada solar kita nggak bisa melaut. Bisa kapal didayung tapi nggak bisa jauh to? Jadi tolong stok BBM bisa disediakan stabil," tutur dia.

(dna/rrd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads