Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifudin mengatakan, produksi kedelai pada 1990-1992 yakni mencapai 1,6-1,8 juta ton per tahun. Sementara saat ini produksi kedelai lokal sudah menyusut hanya sebesar 600.000 ton.
Selain menyusut akibat berkurangnya lahan tanam serta harga kedelai lokal yang tak ekonomis, kebijakan pemerintah yang melepaskan kendali dalam subsidi pada kedelai, secara perlahan membuat kebutuhan kedelai bergantung pada kedelai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sudah produksi (kedelai) semakin turun, pemerintah malah ikuti sarannya IMF (International Monetary Fund). Kasih subsidi pupuk dan bibit dilarang, kasih subsidi harga dilarang, akhirnya kasihan petani kedelai, daripada rugi mending tanam padi saja. Padahal di AS malah disubsidi," tambahnya.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, lanjut Aip, seharusnya pemerintah tak lagi menggubris rekomendasi pihak luar jika memang itu merugikan petani lokal.
"Aturan sekarang tidak fair untuk negara-negara berkembang, makanya sekarang mau dihapus lewat WTO. Sudah sekian puluh tahun negara maju back up pertanian mereka, makanya petani kedelai kita tak berdaya. Kalau itu merugikan petani kita lebih baik nggak usah digubris, buktinya Malaysia malah maju nggak ukuti saran IMF," ujarnya.
Sebagai informasi, pada 1998, sesuai kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF, peran Bulog sebagai pengelola persediaan dan harga beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya harus dilepaskan. Hanya beras yang masih bisa dikontrol oleh Bulog.
(rrd/rrd)