"Penerimaan pajak sekarang adalah satu-satunya risiko fiskal terbesar," ungkap Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro saat melantik Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi di Gedung Djuanda, Kemenkeu, Jakarta, Selasa (1/3/2016).
Bambang menjelaskan, pada masa pemerintahan sebelumnya, risiko terbesar pada APBN ada dari sisi belanja. Khususnya belanja subsisi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang cenderung melonjak ketika ada perubahan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau di masa lalu masih punya excuse (alasan), biasanya yang dijadikan alasan revisi APBN itu karena subsidi yang akhirnya jadi fokus DPR dibanding penerimaan pajak," jelasnya.
Perubahan ini terjadi ketika memasuki APBN 2015, saat subsidi BBM untuk jenis premium dicabut dan solar melalui mekanisme subsidi tetap. Fokus beralih ke pajak, sebab porsi penerimaan bila digabungkan dengan bea cukai mencapai 85% dari total penerimaan.
"Ini beban sangat berat. Karena tanpa penerimaan, tidak akan ada belanja yang ekspansif. Tidak ada anggaran ekspansif yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi," tegas Bambang.
Dari hal tersebut, maka akan berpengaruh juga terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga mau tidak mau mengejar penerimaan pajak adalah sebuah keharusan dan Ditjen Pajak.
"Memang bapak-ibu dituntut bekerja keras. Tax ratio 11% untuk Indonesia itu sangat di bawah standar ASEAN. Kita masih perlu upayakan tax ratio harus naik 2-3% dari angka sekarang," tukasnya. (mkl/ang)