Iman, seroang warga yang desanya ikut masuk dalam area genangan mengakui bahwa saat ini dirinya sulit melakukan kegiatan tani yang memang telah menjadi mata pencahariannya jauh sebelum penggenangan waduk terbesar kedua di Indonesia ini resmi digenangi atau diisi air.
Masalahnya, kata dia, bukan pada ganti rugi lahan atau pun uang kerohiman yang diterimanya. Namun lebih pada lokasi baru yang menjadi tempat tinggal barunya saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan, memang bukan perkara mudah mencari tanah yang cocok untuk melakukan kegiatan pertanian sekaligus untuk tempat tinggal.
Lahan pertanian umumnya telah dikuasai perseorangan secara turun temurun. Selain itu tak banyak orang yang mau melepas area persawahannya saat ini. "Kalau pun ada, harganya sudah mahal," sambung dia.
Di sisi lain, area lain yang masih memungkinkan tersedia lahan untuk pemukiman, tidak memiliki luasan yang sesuai dengan kebutuhan kegiatan pertanian. Sehingga bila dipaksakan, warga hanya bisa membeli hunian baru namun tidak dengan area persawahan baru.
"Jadinya ada yang beli rumah, tapi bertaninya numpang di desa tetangga. Itu jaraknya jauh sekali. Itu jadi masalah baru buat kami," sambung dia.
Kondisi itu tak ayal membuat kondisi ekonomi warga selama peralihan ini menjadi sangat tidak menentu.
Di tengah kondisi yang tidak menentu ini, Iman dan warga lainnya pun tengah dilanda kekhawatiran baru. Tak juga mendapat tanah pengganti dengan kriteria dan harga yang cocok, memaksanya menggunakan uang ganti rugi.
"Kami khawatir, belum sempat dapat tempat bertani yang baru, uang kami sudah keburu habis," keluh dia.
Ia mengharapkan, Pemerintah tidak lepas tangan hanya sampai memberikan uang ganti rugi saja. Ia berharap, ada dukungan Pemerintah untuk menyediakan area persawahan baru yang bisa mereka gunakan untuk kembali mencari nafkah.
"Tolong dong Pemerintah, jangan karena merasa sudah ganti rugi, lalu lepas tangan gitu saja. Sekarang kami mau bertani susah," pungkas dia. (dna/ang)











































