"Intinya bagaimana supaya APBN itu bisa kredibel karena itu yang dibutuhkan di pasar kan. Mereka melihat kalau itu sudah kredibel, maka respons market akan positif," ungkap Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Destry Damayanti, di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/3/2016).
Kredibilitas APBN, kata Destry, diukur dari seberapa tepat asumsi yang dipatok oleh pemerintah dengan realisasi di akhir tahun. Boleh meleset, akan tetapi tentunya tidak terlalu jauh dari target yang ditetapkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perlu dikaji dalam APBN-P mungkin masalah harga minyak, karena sekarang harga minyak global US$ 30-40 per barel, sementara pemerintah naroknya US$ 50 per barel," jelasnya.
Kemudian juga penerimaan negara, menurut Destry, target pemerintah terlalu tinggi dan sulit dicapai pada akhir tahun. Sehingga target penerimaan harus diturunkan. Meskipun konsekuensinya belanja juga harus dipangkas.
"Yang pasti defisit juga pasti berubah. Karena penerimaan sulit dinaikkan, kan harus ada penyesuaian di belanjanya," kata Destry.
Destry menyarankan, agar pemerintah tidak perlu menunggu kepastian dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty untuk mengajukan APBN Perubahan (APBN-P) 2016 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Tax amnesty kalau kita menunggu kan belum tentu ada kepastian karena kan kalau tax amnesty ada keterlibatan parlemen, itu di luar kontrol pemerintah. Tapi kalau APBN-P itu kan sepenuhnya semua ada di kendali pemerintah. Jadi mestinya kalau pemerintah merasa ada angka-angka yang kurang relevan, saya rasa harus segera dilakukan penyesuaian. Supaya APBN itu menjadi kredibel," paparnya. (mkl/wdl)