Sunarto, salah seorang pedagang daging sapi di Pasar Rawasari, Jakarta Pusat yang ditemui detikFinance mengungkapkan, daging sapi lokal asal NTT memiliki tekstur daging yang tipis dan kasar.
Hal itu membuat sapi asal NTT yang dijual rumah potong hewan milik BUMD Pemprov DKI Jakarta, PD Dharma Jaya, kurang laku dijual, khususnya pada pelanggan tukang bakso.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sunarto, kualitas daging tersebut disebabkan karena sapi asal NTT kondisinya kurus di bawah 250 kg setiap sapinya, sementara sapi impor yang digemukkan feedloter rata-rata memiliki berat di atas 350 kg.
"Beda jauh, sapinya gemuk dagingnya tebal kalau impor. Kita ambil sapi dijagal, kalau sapi impor satunya sudah bisa 5 kuintal bisa, kalau sapi NTT 1-2 kuintal saja yang dikarungin (kulak). Orang jadi malas beli. Ibaratnya, satu pahanya sapi impor itu sama kayak isi dagingnya satu sapi lokal," ujar Sunarto.
Hal yang sama juga diungkapkan pedagang daging sapi lainnya, Imam. Menurutnya, tekstur daging asal NTT yang kasar dan tipis membuatnya kapok kulakan daging sapi yang dibawa kapal ternak.
"Kita kan dijatah setiap pasar kalau mau ambil itu daging (sapi NTT). Sama Kepala Pasar Rawasari juga disuruh ambil jatah kita, tapi nggak wajib, nggak ambil juga nggak apa-apa. Pernah beli sekali akhirnya nggak ambil lagi," ungkap Imam.
Iman menuturkan, dirinya hanya menjual daging dari sapi impor yang dijualnya seharga Rp 120.000/kg pada konsumen. Sementara dirinya membeli karkas di rumah jagal di Bekasi seharga 90.000/kg.
"Kalau sapi NTT jualnya Rp 99.000/kg, karena karkasnya Rp 80.000/kg," tutupnya. (drk/drk)