Kebijakan pengampunan pajak akan diberlakukan dalam kurun waktu satu tahun. Berdasarkan RUU, tarif tebusan yang berlaku untuk pelaporan harta adalah 2% untuk tiga bulan pertama, 4% untuk tiga bulan kedua, dan 6% untuk enam bulan selanjutnya.
Sementara untuk tarif tebusan yang berlaku atas repratriasi adalah 1% untuk tiga bulan pertama, 2% untuk tiga bulan kedua, dan 3% untuk enam bulan selanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anggito mengusulkan agar tarif tebusan untuk pelaporan harta adalah adalah 6% untuk tiga bulan pertama, 8% untuk tiga bulan kedua, dan 10% untuk enam bulan selanjutnya.
Sementara untuk yang melakukan repratriasi, maka tarif tebusan yang seharusnya diberlakukan adalah 5% untuk tiga bulan pertama, 7% untuk tiga bulan kedua, dan 9% untuk enam bulan selanjutnya.
"Usulan ini saya berikan karena perbandingan dengan negara lain dan hasil kajian dari OECD," jelas Anggito.
Apalagi pada 2018 telah disepakati untuk saling terbuka akan data perbankan antar negara atau yang disebut Automatic Exchange of Information (AEoI). Sehingga mendorong orang untuk lebih memilih pengampunan pajak dibandingkan kerahasiaannya terbongkar.
"Uang itu pasti akan masuk, karena tidak akan lagi kerahasiaan bank," tukas Anggito.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analys (CITA), Yustinus Prastowo, menyatakan dengan tarif yang diusulkan pemerintah maka perolehan untuk penerimaan negara terlalu kecil. Sementara ini butuh untuk penyelamatan APBN.
Dalam perhitungan Prastowo, penerimaan dari pembayaran tebusan tersebut adalah Rp 60 triliun. Dengan asumsi sekitar Rp 3000 triliun dana masuk ke dalam negeri.
"Saya memperkirakan penerimaan negara itu sekitar Rp 50 - 60 triliun. Saya nggak mau targetkan terlalu tinggi, apalagi bicara Rp 11.450 triliun itu ketinggian," kata Prastowo. (mkl/wdl)











































