Tri menuturkan, kunci utama keberhasilan program kelistrikan di desa-desa terpencil adalah melibatkan masyarakat lokal dan memanfaatkan sumber daya lokal.
Di Pulau Sumba misalnya, Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) yang dipimpin Tri memanfaatkan angin untuk sumber energi listrik (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/PLTB).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Pulau Sumba kita bikin PLTB 500 Watt, memang rakyat perlunya segitu, nggak perlu sampai 1 MW. Bagaimana melibatkan masyarakat? Sederhana, kita harus diam dan mendengar. Tinggal bersama mereka," kata Tri dalam diskusi di Graha PPI, Jakarta, Kamis (21/4/2016).
Dia menambahkan, melistriki desa-desa tidak boleh hanya menjadi sekedar proyek, pembangunan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Perlu pendekatan kepada masyarakat, merangkul dan memberdayakan masyarakat lokal agar mampu mengelola sendiri listrik di desa mereka setelah pembangkit dibangun.
"Kita sering datang merasa paling tahu rakyat maunya apa. Tidak hanya engineering tapi juga pendekatan antropologi, sosiologi. Kita harus meyakinkan masyarakat. Ini mengapa saya ngotot mau ada Patriot Energi, mengirim anak muda tinggal setahun bersama mereka," paparnya.
Di desa-desa terpencil, sulit menemukan orang yang berpendidikan tinggi. Maka masyarakat lokal perlu diberdayakan supaya bisa merawat pembangkit listrik yang nantinya dibangun. Tri mencontohkan, ada tukang ojek yang bisa menjadi teknisi pembangkit listrik dari EBT.
Tukang ojek tersebut biasa menyervis motornya sendiri, sehingga cepat mengerti ketika diajari merawat pembangkit. Meski tak berpendidikan tinggi, rupanya masyarakat lokal sebenarnya punya kemampuan juga.
"Kalau kita ke hutan yang terpencil, nyari sarjana nggak mungkin. Ternyata tukang-tukang ojek diajari sedikit bisa mengoperasikan (pembangkit listrik) mikro hidro," dia mengungkapkan.
Indonesia pun kaya akan sumber energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan untuk menerangi desa-desa di pelosok Indonesia.
"100 kg kotoran sapi bisa menghasilkan listrik 10 kWh. Masak juga jadi gratis, nggak usah pakai fosil fuel (minyak tanah). Desa yang dulunya gelap gulita jadi terang," tutur Tri.
Memang potensi-potensi EBT tersebut banyak yang belum bisa digarap karena belum ada teknologinya.
"Ada yang namanya mikro geothermal, panasnya hanya 90-100 derajat saja. Teknologinya memang masih sulit. Sayang masih mahal banget (teknologinya). Padahal ini adanya di desa-desa yang belum dapat listrik," katanya.
Tapi bukan berarti masyarakat harus menyerah. Banyak teknologi-teknologi sederhana yang dapat diciptakan oleh putra-putri asli Indonesia untuk menyulap potensi EBT tersebut menjadi listrik.
"3 tahun lalu Pak Dahlan Iskan telepon saya, bilang dia menemukan anak muda yang bisa bikin generator kecil untuk PLTB, hanya 4 meter tingginya. Kalau kecil begini anak STM juga optimis bisa membuatnya," tukas dia.
"Yang penting memunculkan optimisme bahwa teknologi itu bukan sesuatu yang susah buat masyarakat, harus dibawa sedekat mungkin kepada masyarakat. Jangan bangga kita bisa pasang banyak solar panel. Harusnya industrinya kita siapkan, jangan kita hanya jadi pasar. Sayang banget, banyak anak-anak cerdas di sini," tandasnya.
Bila proyek sesuai kebutuhan masyarakat, memakai sumber-sumber energi yang ada di sekitar masyarakat, memberdayakan dan melibatkan masyarakat, pasti pembangkit listrik yang dibangun tidak akan mangkrak.
"Kalau dibangun terus ditinggal, ya jelas mangkrak, inilah yang kita prihatin dari ESDM. Kita harus mencari terobosan, sistem pembangunan harus diubah," pungkasnya. (feb/feb)











































