"Kami baru selesaikan audit pendahuluan pengadaan pangan, khususnya beras. Pangan dan energi merupakan dua pilar ketahanan nasional suatu negara," kata Anggota 4 BPK Rizal Djalil di Gedung BPK, Jakarta, Selasa (21/06/16).
Dalam pertemuan itu disepakati kebijakan impor harus mengacu pada data BPS (Badan Pusat Statistik) dan selanjutnya dibawa ke tingkat kementerian koordinator bidang perekonomian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rizal, keputusan impor terkadang kontroversial, sehingga diperlukan data yang akurat dalam menentukan kebijakan ini. Selain itu, produksi pangan di tingkat petani yang belum efektif dan fluktuasi harga pangan yang sulit dikendalikan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
"Itu tadi kita lihat bagaimana mungkin kantor cabang dinas yang berkepentingan dengan subsidi pupuk dan prestasi yang dianggap berhasil harus memberikan data yang akurat. Tadi kita dengar BPS akan mengambil data itu. Ini hal-hal yang akan kita bicarakan lebih lanjut dengan pihak BPS," pungkas Rizal.
Sementara itu menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong, kebijakan impor merupakan hal besar yang mempunyai dampak bagi ratusan juta masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan kerja sama yang kuat antar pemangku kepentingan.
"Ini tidak mungkin menteri kerja sendiri. Sebetulnya impor beras kita kecil sekali tahun lalu 1,5 juta ton. Sementara konsumsi 30 juta ton. Ini hanya 5%. Jadi kita sudah 95% swasembada beras. Bagi saya mengimpor 1,5 juta ton sangat kecil," tandasnya.
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman juga mengatakan setuju dengan impor asalkan harus sesuai dengan kebutuhan.
"Mungkin terkadang orang beri stempel kami menteri anti impor, tapi kami impor sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Bawang nggak boleh impor tahun ini. Sampai hari ini, harga sudah turun Rp 8.000/ kg di tingkat petani," ujar Amran di lokasi yang sama. (hns/hns)











































