Per 11 Juli 2016, sudah ada 35 pihak yang melakukan ratifikasi PSMA, terdiri dari 34 negara dan 1 Uni Eropa. Indonesia terdokumentasi menjadi pihak ke-30 yang meratifikasi dan tercatat pada 23 Juni 2016. Namun, sebenarnya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 43/2016 mengenai ratifikasi PSMA ini sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 4 Mei 2016 dan diundangkan per 10 Mei 2016. Perpres ini tepatnya bernama Perpres 43/2016 tentang Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported anda Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur).
Oleh FAO, PSMA ini sudah mulai diberlakukan mulai 5 Juni 2016, pada saat jumlah negara atau organisasi yang melakukan ratifikasi mencapai minimal 25. 35 Pihak yang meratifikasi PSMA ini melakukannya melalui berbagai instrumen, yaitu ratifikasi, akseptasi, approval, dan aksesi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
FAO menyelenggarakan acara khusus, yaitu perayaan terkait ratifikasi PSMA ini di sela-sela sidang ke-32 Committee on Fisheries (COFI) yang digelar FAO di Plennary Hall, markas pusat FAO di Viale delle Terme di Caracalla, Roma, Italia, Senin (11/7/2016). Perayaan ini dipimpin oleh Direktur Jenderal FAO Jose Graziano da Silva, yang menyampaikan pidato pembukaan mengenai pentingnya PSMA dalam memerangi IUU Fishing. Dalam sambutannya, Jose juga mengapresiasi langkah-langkah pemerintah Indonesia dalam membetantas IUU Fishing.
![]() |
Perayaan selama 1,5 jam itu juga diiisi dengan pidato dari pimpinan delegasi dari beberapa negara yang telah meratifikasi PSMA, yaitu Presiden Republik Guinea Alpha Conde, Dirjen Kelautan dan Perikanan Uni Eropa Joao Aguiar Machado, Menteri Pertanian dan Perikanan Oman Fuad bin Ja'afar bin Mohammad Al Sajwani, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Susi Pudjiastuti, Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan St Vincent and The Grenadines Saboto Caesar, Pejabat di Kementerian Perikanan Republik Chile Raul Sunico, dan Wakil Asisten Sekretaris di Bidang Kelautan dan Perikanan Amerika Serikat David A Balton.
Dalam sambutannya selama 15 menit, Susi menyampaikan Indonesia bangga termasuk salah satu dari 24 negara yang paling pertama menandatangani persetujuan PSMA pada 22 November 2009. Indonesia semakin senang karena akhirnya telah melakukan ratifikasi perjanjian ini pada 10 Mei 2016 melalui Perpres nomor 43/2016. "Hal ini jelas memperkuat komitmen kami dalam memerangi IUU Fishing," tegas Susi.
Susi sangat setuju dengan pembukaan perjanjian ini yang menyebutkan, "Para pihak yang menandatangani perjanjian ini sangat prihatin terkait makin merajalelanya penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing) yang berdampak negatif pada stok ikan, ekosistem laut, dan mata pencaharian nelayan yang sah serta meningkatnya kebutuhan ketahanan pangan global. "Tidak ada yang lebih benar daripada ini. Lautan kita memang dalam bahaya dan ekonomi nelayan sah kita dipertaruhkan karena penangkapan ikan ilegal ini," tegas Susi.
Berdasarkan laporan SOFIA (The State of World Fisheries and Aquaculture) 2014, 90,1% stok ikan dunia sudah dieksploitasi. Tahun lalu, Managing Director Bank Dunia mengatakan pengelolaan stok ikan tidak efektif dan penangkapan ikan ilegal telah membuang US$ 75 miliar sampai US$ 125 miliar dari produksi global per tahun. Di Indonesia sendiri, lanjut Susi, ada kehilangan pendapatan sekitar US$ 20 miliar akibat penangkapan ilegal ini. Lebih dari itu, penangkapan ikan ilegal juga mempengaruhi ekonomi para nelayan kecil Indonesia.
"Jumlah nelayan Indonesia turun dari 1,6 juta nelayan menjadi 800 ribu nelayan dari 2003 sampai 2013. Menangkap ikan bukan lagi menjadi pekerjaan yang memiliki masa depan. Kami kehilangan nelayan-nelayan kami. Penangkapan ikan ilegal menjadi masalah besar, tidak hanya untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, tetapi juga terhadap ekosistem laut ," kata Susi.
Menteri Susi menyampaikan manfaat yang dialami pemerintah Indonesia terkait dengan Ketentuan Negara Pelabuhan (port state measures) selama masa moratorium. Sejak November 2014 hingga Oktober 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia memberlakukan moratorium nasional pada semua kapal nelayan asing. Kapal eks asing ini dulunya berbendara negara lain sebelum didaftarkan untuk operasi di Indonesia.
"Saat ini lebih dari 1.000 kapal eks asing sedang diaudit. Audit dilakukan terutama di pelabuhan untuk mengidentifikasi aktivitas mereka. Kementerian akhirnya menemukan banyak fakta mengejutkan dan masalah yang jauh lebih besar. Mereka melakukan kejahatan perikanan dan kejahatan-kejahatan terkait lainnya. Izin menangkap ikan juga diduplikasi lima, tujuh, bahkan sepuluh 10 kali. Kami sudah belajar banyak dari pengalaman kami bahwa untuk bicara mengenai ketahanan pangan global tak bisa dipisahkan dari fakta-fakta: penggunaan alat-alat perikanan yang merusak, perdagangan manusia, perbudakan manusia, penyelundupan barang, obat-obatan, dan beragam spesies langka dan dilindungi, yang semua ini akibat penangkapan ikan ilegal," ujar Susi.
Dengan perjanjian PSMA ini, lanjut Susi, para pihak bisa melakukan identifikasi terhadap kapal-kapal yang melakukan penangkapan ikan ilegal. Berdasarkan pasal 8 dalam perjanjian ini, Negara Pelabuhan harus memerlukan informasi di lampiran A yang akan diberikan oleh nakhoda kapal sebelum mengizinkan kapal tersebut berlabuh di pelabuhan. Informasi-informasi ini terdiri dari identifikasi kapal, data-data terkait ikan yang ada di kapal, dan izin operasional kapal. Pelaksanaan atas perjanjian ini akan bisa menghambat dan menghalangi masuknya ikan ilegal ke pasar nasional maupun internasional.
PSMA juga membuka pintu untuk inspeksi lebih lanjut dalam melindungi kru dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 Perjanjian. Negara Pelabuhan harus mensyaratkan nakhoda kapal untuk memberikan semua informasi yang diperlukan, dan menyajikan materi dan dokumen yang relevan, termasuk kondisi kru kapal. Informasi ini tentu dapat membantu setiap korban trafficking untuk dideteksi dan diselamatkan oleh Negara pelabuhan. Implementasi perjanjian ini bisa memperketat dalam standar tenaga kerja internasional, keselamatan dan polusi di kapal. PSMA juga mendorong kerjasama perikanan regional antara negara pantai dan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional fisheries management organisation/RFMO) lainya.
Susi juga mendorong peran FAO dalam mendorong implementasi PSMA. Paling tidak, ada tiga peran FAO dalam hal ini. Pertama, memfasilitasi pertukaran informasi dengan database yang ada. Kedua, mengelola kelompok kerja ad hoc untuk membantu negara peserta yang membutuhkan bantuan. Ketiga, untuk memantau dan meninjau pelaksanaan perjanjian ini. "Seperti apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, data penting sekali. Pertukaran informasi secara real-time adalah aspek kunci dari persetujuan ini," tegas Susi. Indonesia mendukung penuh dalam upaya-upaya untuk membuat dan menyusun data kapal perikanan secara global demi suksesnya implementasi perjanjian ini.
![]() |
"Saya mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan negara pelabuhan yang efektif, pertukaran data dan informasi, memberikan peningkatan kapasitas dan bantuan teknis kepada pihak yang membutuhkan. Saya senang menjadi bagian dari perayaan ini, dan saya yakin Anda semua juga begitu. Di luar perayaan ini, saya ingin mendorong semua negara anggota untuk menjadi pihak yang meratifikasi PSMA dan mengadopsi undang-undang dan peraturan serta menerapkan langkah-langkah pelabuhan sejalan dengan persetujuan ini," pinta Susi.
Acara perayaan kemudian dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada para pimpinan delegasi negara yang meratifikasi PSMA ini. Penghargaan diberikan oleh Dirjen FAO, Jose Graziano. (asy/wdl)