Ekonom Bank Dunia Ini Ungkap Turunnya Gairah Manufaktur RI

Ekonom Bank Dunia Ini Ungkap Turunnya Gairah Manufaktur RI

Yulida Medistiara - detikFinance
Kamis, 18 Agu 2016 17:35 WIB
Foto: Yulida Medistiara
Jakarta - Indonesia pernah menjadi salah satu pemain utama dunia dalam ekspor manufaktur. Namun, pasca krisis moneter terjadi pada 1997-1998 kinerja manufaktur Indonesia merosot. Mengapa?

Ekonom Utama Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop mengatakan pertumbuhan sektor manufaktur rill menurun dari rata-rata 11% per tahun pada periode 1990-1996, menjadi 4,8% per tahun pada periode 2001 hingga tahun 2014. Hal ini disebabkan beberapa faktor.

"Hal ini disebabkan oleh lebih tingginya peningkatan permintaan untuk jasa dibandingkan untuk manufaktur seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Untuk Indonesia perubahan ini terjadi pada tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan sebelum industrialisasi mencapai kematangan yang mencerminkan de-industrialisasi yang prematur," ujar Ndiame Diop, di Bursa Efek Indonesia, SCBD, Jakarta Selatan, Kamis (18/8/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, daya saing dan produktifitas tenaga kerja Indonesia masih kalah bila dibandingkan negara tetangga. Ia mencontohkan, Malaysia menunjukkan bagaimana tenaga kerja mereka lebih produktif, walau dengan tingginya upah manufaktur tapi tenaga kerja Malaysia lebih bisa berdaya saing lebih tinggi dari Indonesia walau upahnya lebih tinggi 7 hingga 8 kali lipat.

Penurunan manufaktur ini juga terjadi karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Rupiah terdepresiasi sebesar 16% secara perdagangan tertimbang nominal sejak bulan Desember 2012.

Selain itu, biaya logistik yang tinggi menjadi salah satu kendala karena persoalan infrastruktur dan konektivitas. Tidak hanya itu, persoalan regulasi dan birokrasi juga berkontribusi menyulitkan pelaku usaha di sektor manufaktur.

"Perusahaan-perusahaan Indonesia mengeluarkan biaya yang besar karena buruknya logistik, kesenjangan infrastruktur, dan prosedur izin dan lisensi yang membatasi. Ini yang melemahkan perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Indonesia dibandingkan negara pembandingnya yang beroperasi dengan biaya lebih rendah," kata Diop.

Turunnya pertumbuhan sektor manufakturing ini menurut Diop harus kembali digenjot pemerintah. Hal itu karena pertumbuhan sektor manufaktur ini berkontribusi terhadap pertumbuhan GDP.

"Rendahnya kinerja manufaktur pasca tahun 2000 ini tampaknya menurunkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan manufaktur berkontribusi terhadap pertumbuhan GDP, korelasinya jelas, di tahun 1990 pertumbuhannya cepat dan Pertumbuhan GDP-nya juga cepat," ujar Diop.

Menurutnya, jika Indonesia kembali menghidupkan sektor manufaktur bisa berdampak pada pertumbuhan GDP Indonesia. Hal itu terjadi karena adanya hubungan yang kuat antara pertumbuhan manufaktur dengan pertumbuhan ekonomi. Manufaktur bisa menyerap 13% tenaga kerja yang tersedia di bursa tenaga kerja Indonesia.

"Kunci kontribusinya di balik dari pertumbuhan itu mungkin jika kita mengatur dan menghidupkan kembali manufaktur akan GDP bertumbuh. Kuatnya korelasi antara pertumbuhan manufaktur dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi tidak mengejutkan karena manufaktur mencakup hampir seperlima dari jumlah produksi dan 13% dari keseluruhan lapangan kerja di Indonesia," ujar Ndiame. (feb/feb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads