Schneider Siahaan, Direktur Strategis dan Porfolio Utang, Ditjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan, memastikan pemerintah mampu untuk membayar bunga utang dari penerimaan, bukan dari penarikan utang baru.
"Bukan nggak bisa. Kami bisa bayar kan, tapi belum bisa cover (dipenuhi) lewat penerimaan. Karena ada belanja lain prioritas yang tidak bisa dikorbankan," terangnya, di Gedung Djuanda, Kemenkeu, Jakarta, Jumat (19/8/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pemikiran sederhana, menurutnya posisi keseimbangan primer bisa dirancang positif dengan menurunkan defisit anggaran ke level 1,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Itu kan masalahnya kan politik anggaran. Kan ada pilihan, bisa saja sebetulnya dibikin positif," terangnya.
Akan tetapi, pemerintah membutuhkan komponen belanja yang besar untuk mendorong perekonomian yang sudah tidak bisa bergantung kepada ekspor. Investasi swasta pun masih sangat terbatas.
"Sekarang pilihan kami apa, ya sudah cut (pangkas) belanja atau tetap jaga belanja yang direncanakan dan sisanya dengan utang?" ujarnya.
Efisiensi dan efektivitas belanja juga tetap dilakukan. Ini sudah dimulai dari APBN Perubahan 2016 supaya menjaga APBN agar tetap sehat dan dipercaya.
"Jadi nggak wajar sekarang belanja kami potong-potong, kecuali belanja yang tidak produktif ya. Tapi kalau bicara soal investasi di pendidikan infrastruktur, pengurangan kemiskinan itu nggak boleh tunggu. Kalau nggak waktu itu nggak bisa berputar lagi," papar Schneider.
Hingga akhir Juni 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.362,74 triliun. Naik Rp 39,38 triliun dibandingkan akhir Mei 2016, yaitu Rp 3.323,36 triliun.
Berikut profil utang pemerintah hingga Juni 2016. (mkl/wdl)