Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Juda Agung, menjelaskan, dengan kondisi ekonomi global yang masih lemah maka tidak bisa mengandalkan ekspor untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Jadi, faktor pendorong pertumbuhan mengandalkan permintaan domestik.
Permintaan domestik itu meliputi konsumsi dan investasi, dan investasi tersebut berasal dari pemerintah dan swasta. Di semester I-2016, belanja modal maupun barang pemerintah tumbuh cukup signifikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan pemotongan-pemotongan ini, tentu saja sumber pembukuan dari pemerintah tidak bisa kita harapkan. Dari sini, swasta yang harus berperan," kata Juda Agung dalam acara Indonesia Business and Development di Jakarta Convention Center, Jumat (9/9/2016).
Seperti diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengkaji ulang proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2016. Hasilnya menunjukkan bahwa ekonomi tahun ini hanya mampu tumbuh 5,1% atau lebih rendah dari asumsi dalam APBN-P 2016 sebesar 5,2%.
Dari sisi konsumsi rumah tangga diproyeksi akan mencapai 5,1%. Kemudian konsumsi Pemerintah sebesar 4,8%, dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 5,6%. Ekspor dan impor masih negatif dengan proyeksi masing-masing -1,4% dan -2,5%.
Namun, meski ada pemangkasan anggaran, Menkeu masih optimistis bisa mengejar pertumbuhan sebesar 5,1% itu. Pemangkasan anggaran yang besarnya mencapai Rp 137,2 triliun itu, merupakan keseimbangan keuangan negara. Artinya, pemangkasan berawal karena penerimaan yang diperkirakan tidak akan tercapai.
Juda menambahkan, BI berupaya menjaga daya beli masyarakat tetap terjaga sehingga tetap bisa memberi kontribusi pada laju pertumbuhan ekonomi tahun ini.
"Fungsi BI ini bagaimana kita menjaga agar inflasi kita rendah sehingga daya beli ini tetap kuat," tutur Juda. (hns/hns)











































