Sapi kurban Jokowi tersebut adalah hasil persilangan antara Sapi PO (Peranakan Ongole) dengan Sapi Brahman. Bobotnya sekitar 3 kali lipat sapi lokal, dagingnya jauh lebih banyak.
Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, mengungkapkan sapi 'raksasa' seperti itu perlu dikembangbiakkan, digenjot populasinya secara serius bila Indonesia ingin mempercepat swasembada sapi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi sapi-sapi raksasa itu tidak boleh disilangkan sembarangan dengan sapi-sapi lokal. Bila dilakukan asal-asalan, ada berbagai dampak negatif yang mesti dihadapi.
"Kita harus melakukan breeding dengan terarah. Banyak cerita negatif dari hasil persilangan, meski banyak juga yang sukses," kata Rochadi, kepada detikFinance di Jakarta, Senin (12/9/2016).
Persilangan bisa menghasilkan bibit sapi unggul, tapi bisa juga menciptakan bibit yang kurang berkualitas. Alih-alih menciptakan sapi yang besar, subur, kuat, sehat, bisa jadi yang keluar justru sapi yang sulit birahi, sulit beranak, dan sebagainya.
Yang harus diperhatikan juga, jangan sampai persilangan membuat varietas sapi asli Indonesia hilang. Kemudian sapi hasil persilangan jangan dibiarkan kawin sedarah karena akan menghasilkan keturunan yang tidak bagus.
"Varietas lokal yang bagus bisa hilang kalau breeding tidak terarah, jadi harus terarah. Nggak boleh juga kawin sedarah, nanti jadi jelek," ucapnya.
Beberapa contoh varietas sapi hasil persilangan yang berhasil di Indonesia adalah Simmental-PO dan Simmental-Bali. Sedangkan di Australia, Sapi BX adalah salah satu cerita sukses.
Masalahnya, Indonesia lemah dalam hal kontrol terhadap persilangan-persilangan sapi. Kalau kontrol lemah, besar kemungkinan yang terjadi adalah kegagalan. Ini perlu diantisipasi kalau pemerintah serius mau menggenjot jumlah sapi raksasa. "Yang penting harus terarah. Di kita, kelemahannya adalah tidak terarah. Harus ada yang mengawal proses persilangan," ucapnya.
Selain itu, Indonesia perlu mengharmoniskan aturan terkait penggunaan hormon pertumbuhan untuk sapi. Di Indonesia, hormon pertumbuhan dilarang dengan alasan sapi yang menggunakannya dapat membahayakan bila dikonsumsi manusia.
Padahal, hormon pertumbuhan lazim digunakan di berbagai negara, hanya saja diatur hormon pertumbuhan mana saja yang boleh dan tidak boleh digunakan. Australia yang mengekspor sapi ke Indonesia pun memakainya untuk penggemukan sapi.
Menurut Rochadi, hormon natural tidak akan membahayakan, yang berisiko hanya hormon sintesis. Maka regulasi yang ada perlu direvisi untuk mempermudah pengembangan sapi raksasa.
"Teknologi harus masuk. Di kita hormon pertumbuhan dilarang, padahal sapi Australia saja pakai. Kita minta natural hormon, bukan hormon sintetis, tidak akan membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsi sapi," tuturnya.
Rochadi melanjutkan, sapi berukuran jumbo yang cocok untuk dikawinkan dengan sapi-sapi lokal dan dikembangbiakkan dalam jumlah besar adalah Sapi BX dan Sapi Brahman. Sebab, sapi BX adalah keturunan Sapi Brahman, sama dengan Sapi Peranakan Ongole (PO) yang sudah banyak di Indonesia.
Sapi BX dan Sapi Brahman yang berasal dari India dikenal tahan panas dan tahan penyakit, cocok dengan kondisi alam Indonesia. Sedangkan Sapi Limousine dan Sapi Simmental yang berasal dari Eropa kurang 'tahan banting'.
"Sapi PO dan Sapi Brahman Cross (BX) akan jauh lebih bagus. Limousine itu sapi dari Eropa, lebih tidak tahan panas," tutupnya. (wdl/wdl)