Selain infrastruktur yang perlu dipersiapkan, dari sisi biaya, kewajiban 20% impor sapi indukan juga malah membuat feedloter merugi lantaran perputaran uang dari usaha breeding terlalu lama.
"Core business kita penggemukan. Orang awam melihatnya sama-sama sapi, tapi itu 2 hal berbeda. Secara teknis dan permodalan berbeda, manajemen kandang tak sama, perlu persiapan infrastruktur untuk pemeliharaan sapi indukan, itu butuh waktu," ucap Joni di kantor Gapuspindo, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (28/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kedua modal, dalam kalkulasi kita, kalau 1:5 dengan kita punya kapasitas kandang 10.000 ekor. Dalam setahun dengan penggemukan dilakukan selama 4 bulan atau 3 kali dalam setahun, artinya kandang memuat 30.000 ekor. Kalau harus memasukkan 6.000 ekor (20% dari 30.000 ekor), nilai investasinya kita hitung Rp 254,7 miliar," terang Joni.
"Dan untuk indukan kita harus pelihara 14 bulan sampai beranak. Anaknya dipelihara 4 bulan, itu belum termasuk risikonya. Dananya dari mana itu?" imbuhnya.
Bekerja sama dengan peternak lokal atau skema inti plasma juga bukan pilihan. Lantaran nantinya justru peternak lokal ikut menanggung rugi pemeliharaan sapi indukan.
"Itu tidak sederhana. Pertama kalau kita kasih sapi indukan ke peternak, kan mereka harus dididik dulu. Bagaimana juga kita mau didik kalau feedloter juga masih belajar breeding. Kita saja belum pengalaman breeding. Malah peternak lokal kasihan kalau dipaksa rugi pelihara sapi indukan," kata Joni.
Dia melanjutkan, kalau pun harus mengimpor sapi indukan untuk breeding, rasio 20% dianggap terlalu membebani feedloter.
"Kalau rasio 20% dengan kuota itu sudah sangat berat, nggak tertutup biaya untuk pelihara indukan. Kalau usul kita, rasionya dengan luas kemampuan kandang kita," pungkasnya. (hns/hns)