Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyatakan, untuk memproyeksikan ekonomi dunia, sebenarnya hanya perlu memperhatikan China. Baik buruknya kondisi China sangat besar pengaruhnya terhadap ekonomi dunia.
"Jadi kalau bicara prospek ekonomi dunia, maka lihatlah China," ungkap Mirza dalam seminar terkait prospek ekonomi Indonesia di Kantor Pusat BI, Jakarta, Kamis (6/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika China tumbuh pada kisaran 10-12%, maka banyak negara lain juga ikut merasakan keuntungannya. Terutama untuk negara berbasis komoditas seperti Indonesia yang sangat kaya dengan hasil perkebunan dan pertambangan. Namun ketika China melambat, maka negara lain juga mengikuti.
"Kondisinya sekarang China masih lambat. China dulu 10-12%, sekarang kita berbicara China hanya 6,3-6,5%. Ini mempengaruhi harga komoditas tambang dan perkebunan," paparnya.
China menjadi patokan, menurut Mirza, juga disebabkan oleh kondisi negara maju lainnya juga belum juga pulih. Sebut saja Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan Jepang yang sekarang masih berupaya keras untuk tumbuh.
"Ekonomi AS, Eropa, Jepang belum jalan. Makanya global itu ekonominya tidak sesuai dengan harapan," imbuhnya.
Pengaruh ke Indonesia
Kaitan antara Indonesia dan China sangat kuat dari sisi ekonomi. Indonesia yang bergantung dengan hasil sumber daya alam di sektor perkebunan dan pertambangan harus mengalami perlambatan ekonomi mengikuti China. Ini terjadi pada periode 2013-2015.
"Ekonomi kita sangat bergantung pada harga komoditas," tegas Mirza.
Sumatera dan Kalimantan terkena dampak paling besar. Sumatera sebagai pemegang porsi 22% dari total perekonomian nasional tumbuh sangat kecil, Kalimantan dengan porsi 12% justru bahkan negatif. Hal ini karena kedua wilayah merupakan penghasil sumber daya alam tersebut.
"Kedua wilayah itu kan isinya CPO (Crude Palm Oil), karet, batu bara hanya harganya anjlok sejak beberapa tahun lalu," tandasnya. (mkl/drk)











































