Agar praktik kartel ayam tak kembali terulang, ia pun menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah.
Yang pertama, KPPU berharap pemerintah bisa segera mengajukan perubahan terhadap UU Nomor 41 Tahun 2014 atas perubahan UU Nomor 18 Tahun 2009. Hal ini dilakukan guna meminimalisir proses konglomerasi di industri perunggasan Indonesia, sehingga peternak-peternak mandiri dapat lebih bersemangat dalam melakukan bisnisnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang kedua, KPPU menginginkan Kementerian Pertanian untuk membuat aturan atau regulasi perunggasan yang lebih jelas di Indonesia.
"Regulasi ini harus benar-benar memperhatikan prinsip-prinsip nilai persaingan usaha yang sehat," katanya.
Yang ketiga, ia meminta kepada Menteri Perdagangan melalui Bapak Presiden untuk menyederhanakan rantai distribusi perunggasan di Indonesia. Ia mengatakan, rantai distribusi perunggasan di Indonesia yang sangat panjang saat ini membuat harga di peternakan sangat jauh berbeda dibandingkan yang ada di konsumen.
"Harga di peternak bisa 10.000/kg, logikanya di end user harusnya hanya Rp 16.000/kg atau paling mahal Rp 18.000/kg. Tapi faktanya, harga Rp 10.000/kg di peternak, di pasar tetap saja Rp 40.000-Rp 45.000/kg ayam potongnya. Ini artinya di tengah-tengah ada persoalan yang harus segera dibereskan oleh Kementerian Perdagangan. Oleh karenanya, melalui Bapak Presiden, kami meminta Menteri Perdagangan menyederhanakan rantai distribusi di perunggasan," tutur dia.
Yang ke empat, ia menginginkan Kementerian Kesehatan melakukan kampanye daging ayam dingin di Indonesia. Selama ini ada perspektif di masyarakat, bahwa daging beku kurang baik untuk dikonsumsi. Padahal dengan dibekukannya daging tersebut, dapat mengurangi jumlah kerugian peternak yang dagangannya tidak habis pada hari yang sama.
"Selama ini ada anggapan fresh meat itu masih jauh lebih bagus dibanding dengan frozen meat. Oleh karenanya kita minta Kemenerian Kesehatan lebih menggalakkan soal ini," jelasnya.
Yang kelima, ia berharap Badan Pusat Statistik (BPS) bisa menertibkan data-data di bidang perunggasan. Hal ini diperlukan agar seluruh formula kebijakan yang dibuat tidak berbenturan dengan keadaan di lapangan. Mengingat, sesuai dengan saran Presiden kepada seluruh kementerian, untuk menjadikan BPS sebagai sumber data satu-satunya dalam membuat formulasi kebijakan.
"Karena terbukti dalam persidangan yang kami lakukan pada saat memanggil dirjen peternakan dan kesehatan hewan, kami dengar keterangannya, bahwa afkir dini yang dilakukan terhadap 6 juta parent stock ayam tidak didasari pada data-data yang valid atau faktual. Akibatnya, kebijakan ini dibuat dengan basis data yang lemah, yang pada akhirnya berdampak pada kelangkaan DOC, dan membuat para peternak mandiri (tidak memiliki integrasi dengan perusahaan besar) khususnya, sangat dirugikan," tukasnya. (dna/dna)











































