Tiru Inggris, DPR Harus Panggil Google Supaya Bayar Pajak

Tiru Inggris, DPR Harus Panggil Google Supaya Bayar Pajak

Yulida Medistiara - detikFinance
Jumat, 14 Okt 2016 13:35 WIB
Foto: Zaki Alfarabi
Jakarta - Pemerintah tengah mengincar pajak perusahaan Google Asia Pasific Pte Ltd karena selama ini belum membayar pajak. DPR didorong memanggil Google untuk mendengarkan pendapat soal alasan tak mau bayar pajak.

Rapat tersebut ditujukan agar DPR bisa menanyakan Google seperti yang dilakukan parlemen Inggris saat menaklukkan Google. Menurut Darussalam, Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center, Inggris sukses memajaki Google karena setelah dipojokkan Parlemen Inggris yang menuduh melakukan penghindaran pajak.

Dengan demikian jika negara berupaya menagih pajak Google atau perusahaan OTT (Over The Top) pemerintah seharusnya berkonsolidasi antara DJP dan DPR. Dalam hal ini menurutnya tidak hanya Direktorat Jenderal Pajak yang berperan tetapi bisa juga DPR karena sebagai wakil rakyat dapat turut andil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Berkaca dari pengalaman Inggris ini kan tidak lagi dispute antara DJP dan perusahan bersangkutan, tapi negara lawan perusahaan bersangkutan. Kalau itu sudah menyangkut rakyat, yang kita tahu wakil rakyat itu dalam konteks kita DPR, DPR itu bisa panggil mereka dengar pendapat dengan mereka kok bisa seprti ini," ujar Darussalam, di Hotel atria, Malang, Jumat (14/10/2016).

Pemerintah Inggris juga menerapkan jenis pajak baru bukan Pph, khusus untuk menagih pajak bagi perusahaan Over The Top (OTT) seperti Google. Pemerintah Inggris menerapkan tarif 25% lebih besar daripada tarif normal kepada perusahaan tersebut yang berlaku pada 2 situasi, yaitu saat mengalihkannya ke negara lain yang disebut section 80 charge (payment lacking substance) dan section 86 charge (avoided pe).

"Contohnya Inggris aturan pajak yang baru itu lebih tingi, 20% vs 25% itu boleh diterapkan apabila pajak di negara penghasilan dialihkan sama atau lebih kecil dari beban pajak hitungannya 80% dikali beban pajak negara sumber. Kalau di negara sumber 20% kalau dialihkan ke negara lain yang 16% itu dia kena aturan itu yang lebih tinggi," kata Darussalam.

Dengan sistem aturan pajak yang baru tersebut mengenakan pajak lebih tinggi kepada perusahaan OTT. Sehingga yang tadinya misal Google tidak mau membangun BUT akan membangun BUT dengan aturan yang baru itu karena ada tarif yang lebih tinggi.

Dia berharap Indonesia membuat aturan khusus untuk memajaki perusahaan OTT seperti yang dilakukan Inggris. Aturan tersebut bisa dilakukan dengan bernegosiasi antara pemerintah dan Google terkait pajak masa lalu dan masa depan untuk mendapatkan keadilan.

"Perkembangan model bisnis baru sehingga UU yang sekarang bisa menyesuaikan diri. Google itu contoh yang baru karena nggak tertangkap sistem internasional yang ada. Ikut model bisnis baru makanya perlu revisi atau perundang-undangan baru," ujar Darussalam.

Meskipun pembentukan aturan baru akan lama, Darussalam mengatakan diperlukan kemauan kerjasama semua pihak termasuk DPR untuk mengejar pajak Google. Kemenkominfo beberapa waktu lalu mengatakan Google mau membayar pajak tetapi mau bernegosiasi, menurut Darussalam tidak mengapa asalkan porsinya adil.

"Ya nggak apa-apa, nggak masalah itu, itu kan terjadi juga di UK, yang penting itu Indonesia mendapatkan pajaknya yang lebih adil. Ini kemauan semua pihak termasuk DPR ikut bagaimana menerapkan pajak yang masa lalu dan masa depan juga negosiasi," ujar Darussalam.

(ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads