Saat rapat pembahasan aset negara tersebut, sejumlah anggota Komisi XI mempertanyakan penggunaan aset negara sebagai jaminan (underlying) atas utang yang diterbitkan pemerintah dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Salah seorang anggota Komisi XI, Jon Erizal mengungkapkan, tak semestinya aset negara dijadikan jaminan untuk surat utang yang diterbitkan Kementerian Keuangan. Lantaran bisa berpotensi merugikan negara jika terjadi default (gagal bayar).
"Saya mohon penjelasan terkait underlying, kalau bisa formatnya nggak menjaminkan, cukup dengan nilai guna atas asas penggunaan. Kenapa harus ada underlying, kalau tak salah di zaman Pak Harto, cukup minta bantuang (utang) ke Timur Tengah, dan ada banyak yang masuk," kata Jon di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ini kan soal pengelolaan pembiayaan dan resiko. Sehingga jangan sampai kita bicara kemungkinan default dan sebagainya. Meski tidak ke arah sana, namun resiko tetap pasti ada," ucap Misbakhun.
Menjawab hal tersebut, Sri Mulyani menjelaskan, aset negara yang jadi objek underlying atas surat utang syariah tersebut tak benar-benar dijadikan agunan, namun yang hanya nilai manfaat dari aset negara yang jadi objek underlying.
"Kami pertama kali terbitkan SBSN tahun 2008, dari sisi kebutuhan untuk memenuhi syarat-syarat yakni prinsip syariah. Karena penerbitan SBSN harus menggunakan aset sebagai underlying saat penerbitannya, bukan dengan money to money untuk menghindari riba," ujar Sri Mulyani.
"Bukan seolah aset negara dijadikan agunan dengan dijadikan underlying, tapi hanya nilai manfaatnya saja. Ini sebagai syarat untuk memenuhi prinsip syariah, bukan berarti lantas aset negara diserahkan kepada investor saat negara default," tambahnya. (dna/dna)











































