'Gudang Raksasa', Hasil Karya Jokowi untuk Benahi Logistik RI

'Gudang Raksasa', Hasil Karya Jokowi untuk Benahi Logistik RI

Maikel Jefriando - detikFinance
Senin, 24 Okt 2016 11:43 WIB
Foto: (Agus Suparto/Istana Kepresidenan)
Jakarta - Harus diakui, kondisi logistik di Indonesia sangat buruk. Bank Dunia mencatat biaya logistik mencapai 24% dari total PDB atau Rp 1.820 triliun per tahun. Dwell time atau waktu bongkar muat di pelabuhan sangat tinggi, yaitu di atas 4,3 hari, sementara negara lain hanya 1 hari.

Masalah ini tampak sangat jelas, karena membuat industri dalam negeri menjadi sulit bersaing dengan hasil produksi dari negara lain. Investor pun akhirnya kurang tertarik untuk meletakkan dana di Indonesia.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyadari hal tersebut sangat krusial. Maka setelah dilakukan kajian yang komprehensif bersama pemangku kepentingan, muncul paket kebijakan ekonomi jilid II yaitu tentang Pusat Logistik Berikat (PLB) yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 tahun 2015.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara sederhana, PLB disebut sebagai gudang raksasa. Bersifat multifungsi, modern, luas, dan terotomatisasi untuk menimbun barang dengan mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) dan fasilitas operasional lainnya.

"PLB itu satu bagian yang penting dari proses kegiatan logistik," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, seperti dikutip detikFinance, Senin (23/10/2016).

Dunia usaha ternyata antusias dengan kebijakan tersebut. Terbukti pada Maret 2016, Presiden Jokowi langsung meresmikan PLB di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, Jakarta seluas 3 hektar, beserta 10 PLB lainnya di daerah berbeda. Hingga sekarang sudah tercatat ada 24 PLB dan dalam waktu dekat ada empat PLB tambahan yang akan masuk, yakni Atlas Coppo, Idemitsu, Fonterra dan Cargill.

PLB tersebar dari berbagai wilayah, baik di Jakarta, Merak, Karawang, Subang, Denpasar, Surabaya, Kepulauan Riau, Medang, Balikpapan, hingga Sorong. Sektornya pun beragam, yakni pertambangan, minyak dan gas bumi (migas), tekstil, bahan kimia, otomotif, dan makanan dan minuman. Darmin meyakini inilah paket kebijakan yang paling sukses.

"PLB adalah paket kebijakan yang paling berhasil implementasinya," tegas Darmin.

Jelas dunia usaha antusias, karena mendapat banyak keuntungan. Rata-rata penghematan biaya penimbunan adalah 25%. Barang yang dibeli dari PLB hanya dikenakan pajak 1 layer, yaitu pajak impor saja. Dwell time hanya 1,02 hari, jauh lebih rendah dibandingkan yang berlaku normal yaitu sekitar 3-4 hari. Potensi penghematan cost recovery sebesar Rp 300,6 miliar.

Selanjutnya yaitu efisiensi lalu lintas barang, karena dengan semua fleksibilitas yang dimiliki, masuk dan keluar barang dari PLB dapat dilakukan dengan lebih cepat. Misalnya waktu tunggu pengeluaran barang di PLB Merak hanya 15 menit.

"Pengusaha mengumpulkan tanpa menumpang ke tempat lain dan bawa ke PLB dan itu belum dikenai biaya apapun. Kemudian dia bisa merancang irama ekspor impor dari situ," ujar Darmin.

Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi menambahkan, untuk prosedur pendirian PLB tidak rumit. Dimulai dengan permohonan ke KPPBC tempat perusahaan berlokasi. Selanjutnya pengecekan syarat administratif dan pemeriksaan lapangan. Bila sesuai, maka diteruskan ke Kantor Pusat untuk kemudian pimpinan perusahaan diundang untuk sesi pemaparan proses bisnis. Syarat terpenuhi, izin diterbitkan. Prosesnya 10 hari kerja.

Pada prinsipnya, PLB dibuka untuk seluruh sektor. Akan tetapi pada tahap awal, memang diutamakan untuk barang modal dan barang penolong. Nantinya secara bertahap akan dilanjutkan dengan barang konsumsi.

Reputasi perusahaan yang ingin mendapatkan PLB menjadi pertimbangan. Heru akan memantau rekam jejak perusahaan dalam aktivitas ekspor impor serta bisnis di dalam negeri. Ini bertujuan agar risiko pelanggaran aturan bisa diminimalisasi. Sedangkan untuk pemain baru, akan disediakan waktu untuk konsultasi dalam pelaksanaan PLB.

"Tentunya karena ini adalah fasilitas, maka verifikasi dilakukan secara betul-betul," kata Heru dalam wawancara khusus kepada detikFinance.

Heru memastikan tidak ada pelonggaran pengawasan. Barang tetap akan diawasi dari hulu ke hilir. Mulai dari kapal datang membawa kontainer, kemudian dibongkar, masuk ke penimbunan sementara, hingga keluar dari pelabuhan sampai ke PLB. Seluruhnya akan bersifat pengawasan fisik maupun elektronik.

Pengawasan lainnya adalah terkait pajak. DJBC telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk kecocokan data wajib pajak sebagai pelaku logistik. Kepada wajib pajak yang dianggap berisiko, maka akan ada peningkatan pengawasan. Dengan demikian, Indonesia siap untuk menjadi pusat logistik di kawasan maupun Internasional.

"Indonesia diharapkan menjadi pusat logistik untuk suplai barang ke market kita, kawasan ASEAN. Bahkan kita berharap Indonesia menjadi logistic center untuk internasional," tandasnya.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita menilai, pemerintah sudah memulai langkah tepat dalam pembenahan logistik di dalam negeri. Sekarang yang dibutuhkan adalah konsistensi pelaksanaan. Pemerintah juga harus cepat tanggap dalam berbagai persoalan yang terjadi di lapangan agar kebijakan bisa berjalan sempurna.

"Pemerintah harus berkomit dan menmenunjukkan konsistensi dalam pelaksanaan dan cepat menangani masalah-masalah yang kemudian timbul,"
tegas Zaldy. (drk/drk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads