Sehingga pemerintah Indonesia tidak perlu lagi bergantung pada utang.
"Kita inginnya banyak yang bayar pajak dan tidak bergantung utang," ungkap Sekretaris Jenderal OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), Angel Gurria, usai menyerahkan hasil kajian perekonomian ke pemerintah di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (24/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Belanja yang agresif seharusnya bisa ditutup oleh penerimaan pajak, bukan dari utang," ujarnya.
Sejauh ini utang Indonesia masih cenderung terkendali dengan rasio yang masih berkisar 27% dari PDB atau jauh lebih rendah bahkan dibandingkan dengan negara maju yang memiliki rasio di atas 100%. "Pemerintah hanya perlu berhati-hati, sekarang masih aman, karena rasionya cenderung kecil," tegasnya.
Hingga akhir September 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.444,82 triliun. Naik Rp 6,53 triliun dibandingkan akhir Agustus 2016, yaitu Rp 3.438,29 triliun.
Sedangkan total pembayaran cicilan utang pemerintah pada Januari hingga September 2016 adalah Rp 398,107 triliun, atau 82,88% dari pagu, atau yang dialokasikan di APBN.
Pembayaran pokok utang pada periode itu mencapai Rp 251,556 triliun, terdiri dari pokok pinjaman Rp 46,536 triliun atau 67,22% dari pagu APBN. Kemudian pembayaran pokok Surat Berharga Negara (SBN) Rp 205,02 triliun atau 90,66% dari pagu APBN.
Sementara untuk pembayaran bunga utang, pada periode itu adalah Rp 146,552 triliun atau 79,24% dari pagu APBN.
Pembayaran bunga pinjaman sepanjang periode itu adalah Rp 10,228 triliun (60,79% dari pagu APBN). Sementara untuk SBN, bunga yang dibayar tercatat Rp 136,324 triliun (81,09% dari pagu APBN). (mkl/hns)