Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, dalam pengelolaan anggaran 2017, pemerintah akan berhati-hati. Khususnya terkait dengan utang akibat adanya defisit anggaran. Utang digunakan untuk investasi dan pemenuhan pembayaran bunga utang.
"Defisit sebagiannya lagi digunakan untuk investasi," ungkapnya dalam konferensi pers di Gedung Djuanda, Kemenkeu, Jakarta, Kamis (27/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini termasuk pembayaran utang lama," tegas Sri Mulyani.
Seperti diketahui, keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Bila keseimbangan primer defisit, itu berarti pemerintah berutang untuk membayar bunga utang.
Dengan kata lain, pemerintah harus menarik utang baru untuk membayar bunga utang. Bila pemerintah ingin mengurangi defisit keseimbangan primer, maka defisit anggaran harus bisa dijaga pada level 1,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada 2010, keseimbangan primer tercatat surplus atau positif dengan realisasi Rp 41,5 triliun. Ini artinya penerimaan negara lebih besar dari belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jadi pemerintah kala itu masih memiliki dana dari penerimaan negara untuk membayar bunga utang.
Setahun berikutnya, kondisi keseimbangan primer mulai menipis. Surplus pada keseimbangan primer hanya Rp 8,8 triliun. Namun ini masih dianggap sehat dari sisi pengelolaan anggaran negara.
Pada 2012, keseimbangan primer mulai defisit sebesar Rp 52,7 triliun. Begitu pun yang terjadi pada 2013, dengan besaran defisit Rp 98,6 triliun, lalu 2014 defisit sebesar Rp 93,2 triliun.
Lewat kondisi defisit ini, berarti pemerintah sudah tidak memiliki kemampuan untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara. Pemerintah harus mencari utang baru untuk membayar bunga utang.
Lonjakan drastis keseimbangan primer terjadi pada 2015, yang nilainya menjadi Rp 142,4 triliun. Pada 2016, dalam APBN Perubahan (APBN-P) dicantumkan defisit keseimbangan primer Rp 105,5 triliun dan defisit keseimbangan primer di 2017 diperkirakan sebesar Rp 111,4 triliun (mkl/dna)