"Ini ada sekitar 30 persen dari total 16.000, diparkir. Kapal ini yang ngambil Minerba seperti mineral, bauksit, pasir. Coba pas reklamasi berhenti ini kan hilang angkutan pasirnya. Ketika Minerba diberhentikan ini tidak mengekspor," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pelayaran Nasional, Johnson W Sutjipto, di Hotel Atlet Century Park, Jakarta Selatan, Senin (14/11/2016).
Saat ini memang pemerintah mengharuskan adanya ekspor dalam bentuk nilai tambah. Sementara itu, smelter yang memproduksi bahan mentah jadi barang bernilai tambah sedang dibangun sehingga perusahaan perkapalan masih menunggu produk dari smelter itu diekspor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyebut kapal yang paling banyak parkir di perairan Indonesia misalnya tugboat dan tongkang. Hal itu karena kapal tersebut berada di perairan yang dangkal.
"Jadi kapal-kapal yang over (berlebih) itu kapal tugboat dan tongkang. Nah kapal di Indonesia itu mayoritas tugboat dan tongkang karena pelabuhannya itu jenis tidak terlalu dalam," ujar Johnson.
Kapal tugboat dan tongkang itu biasanya paling sering dibajak saat dalam perjalanan ke Filipina. Kapal tersebut membawa minerba seperti pasir dan nikel. Jika ekspor mentah dilarang maka kapalnya terpaksa parkir.
"Kapal itu adalah kapal yang sering dibajak. Kapal itu adalah yang membawa minerba seperti pasir, nikel, kalau mereka berhenti itu hilang angkutan pasirnya.,"ujar Johnson.
Selain itu, adanya penurunan permintaan ekspor batubara dari Cina juga turut membuat kapal-kapal ini kurang permintaan pengiriman barang. Pada saat harga batubara turun, menurut Johnson Cina menyepakati perjanjian penggunaan ramah lingkungan sehingga tidak lagi menggunakan banyak batubara.
Beberapa kapal pengangkut batu bara yang tidak itu diantaranya 800-1000 kapal terparkir di Samarinda, Kalimantan. Kapal tersebut saat ini sedang parkir atau tidak beroperasi.
Selain itu, pengaruh harga minyak dunia yang sedang turun juga berpengaruh terhadap bisnis perkapalan. Menurutnya, berkurangnya permintaan menjadikan beberapa kapal pengangkut minyak dan gas parkir di Batam.
"Kelemahan itu semua kegiatan eksplorasi. beberapa oil dan gas itu kebanyakan ada parkir di Batam," ujar Johnson.
Selain itu, ketika parkir dan tidak ada orderan masuk, pengusaha kapal masih diharuskan membayar uang parkir melalui aturan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan membayar uang di tempat memarkirkan kapalnya. Menurutnya ini semakin menyiksa karena pengusaha harus membayar gaji karyawan, listrik, dan PNBP yang tinggi disaat permintaan sedang lesu.
"Nah yang paling stres lagi kan ini ketika kapal parkir, sewa perairan kita bukannya turun malah naik. Ini jadi 10 kali lipat. Ini melalui PNBP. PP 15 tahun 2015 adalah penerimaan PNBP laut darat udara ini PP 15 ini cukup sadis dalam kondisi sekarang karena penambahan post tarif PNBP baru ini 51%," kata Johnson.
"Dari tadinya 800 post tarif menjadi 1200 post tarif. Kemudian ada 10-100 persen ini dan post Tarif 57 post tarif ada 100-1000%. Penyewaan air ini 10 kali lipat, jadi kami juga senang ini Menhub Budi Karya sudah bersedia mereview ulang PNBP yang cenderung terlalu tinggi," ujarnya. (dna/dna)











































