Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Suahasil Nazara menjelaskan, dengan kondisi ekonomi AS yang saat ini belum stabil dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS, maka dua hal ini menjadi tantangan yang perlu mendapat perhatian.
"Kalau ekonomi AS membaik maka ekonomi dunia juga baik. Tapi kita punya tantangan karena dia (AS) mau turunkan pajak untuk beri insentif. Ini bisa tarik investor ke sana," terang Suahasil di Hotel Aston, Bogor, Sabtu (26/11/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja, ada beberapa kebijakan yang akan dilakukan Trump memang perlu diwaspadai oleh Indonesia. Sebab, terdapat beberapa kebijakan yang dikhawatirkan akan berdampak terhadap capital outflow.
"Tapi kita kaget saja Trump yang menang. Ada proteksi, lalu ada optimisme dari AS, maka mengalirlah uang ke sana dan dana mulai mencari komposisi baru. Ini juga perlu diperhatikan," tutupnya.
Kebijakan Trump juga yang menarik diri dari perjanjian perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP) juga perlu dipertikan, walaupun, kata Suahasil, tidak banyak mempengaruhi Indonesia.
Bahkan, Indonesia bisa mengambil sisi positif apabila TPP batal. Salah satunya adalah semakin kompetitifnya perdagangan Indonesia dengan negara lain yang selama ini telah menjalin kerja sama perdagangan bebas dengan Amerika Serikat.
"Lalu ada proteksionisme, misalnya pada TPP (Trans Pasific Partnership). Efeknya ke Indonesia mungkin nggak langsung, tapi kita kaji dengan sangat mendalam. Tapi kalau TPP nggak jadi, maka privilage cukup baik bagi kita karena negara pesaing kita enggak lagi ikut TPP," kata dia.
Selain tantangan dari sisi AS, sejumlah kondisi lain seperti lambatnya laju perekonomian China juga perlu diperhatikan. Serta sejumlah kondisi global yang cukup mengejutkan di tahun 2016 ini, yakni keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) Dikhawatirkan, hal ini masih berdampak pada ekonomi Indonesia pada tahun 2017 mendatang.
"Lalu ekonomi China juga akan seperti itu kita lihat. Di G20 Menteri Keuangan China mengatakan 'Pertumbuhan ekonomi 7% adalah new normal'. Jadi ekspor kita ke China harus consider dengan pertumbuhan ekonomi China di level 6% sampai 7%. Lalu ada kejutan dari China yang lakukan devaluasi. Lalu juga ada Yunani, lalu juga ada Brexit," paparnya. (hns/hns)