Pengamat ekonomi yang juga sebagai Ketua Program Studi Manajemen Fakultas Bisnis Sampoerna University, Wahyoe Soedarmono menyebut, situasi neraca transaksi berjalan Indonesia cukup kuat. Hal itu terlihat dari defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang hanya menyentuh 1,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di triwulan III-2016. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan posisi menjelang akhir 2013 menyentuh 4,4% dari PDB.
"Dengan situasi neraca berjalan yang cukup kuat, risiko pelarian modal dari Indonesia akibat sentimen negatif investor asing terhadap kondisi Indonesia dapat diminimalkan," kata Wahyoe, di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (5/12/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menilai pilihan strategi ini tidak lagi efektif apabila defisit neraca transasksi berjalan/CAD meningkat di akhir 2016 akibat taper tantrum," kata Wahyoe.
Untuk itu, ia menyebut riset Sampoerna University menemukan dua pilihan kebijakan berikut dapat mengurangi CAD, yaitu peningkatan suku bunga acuan (policy rate) oleh Bank Indonesia (BI), dan Expenditure Switching Policy melalui strategi yang memungkinkan depresiasi nilai tukar rupiah untuk mengurangi konsumsi barang-barang impor dan meningkatkan ekspor komoditas ketika harga komoditas sedang naik.
"Kita juga harus meningkatkan ekspor ketika harga komoditas dunia seperti batu bara, maupun komoditas non tambang mulai menunjukkan tren peningkatan," ujarnya.
Menurutnya, jika suku bunga acuan harus dinaikkan, maka perlu adanya pelonggaran aturan makro prudensial. Hal itu untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan.
"Jika policy rate harus meningkat, maka Bank Indonesia perlu melonggarkan aturan-aturan makro prudensial untuk dapat mendorong pertumbuhan kredit perbankan, di saat pertumbuhan kredit di kuartal III-2016 hanya berada di kisaran 6% (yoy), jauh lebih rendah daripada periode Mei 2013-Juni 2014 saat taper tantrum sebelumnya di mana pertumbuhan kredit dapat mencapai kisaran 20%," kata Wahyoe. (drk/drk)