Ini Jurus FAO dan Kementan Bikin Produksi Jagung NTB dan NTT Naik 2 Kali Lipat

Ini Jurus FAO dan Kementan Bikin Produksi Jagung NTB dan NTT Naik 2 Kali Lipat

Yulida Medistiara - detikFinance
Selasa, 06 Des 2016 13:20 WIB
Foto: Yulida Medistiara
Jakarta - Selama tiga tahun terakhir, Badan Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture Organization/FAO) bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Badan Litbang) Pertanian Kementerian Pertanian mengenalkan teknik Pertanian Konservasi (Conservation Agriculture/CA) di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Program ini untuk meningkatkan daya adaptasi petani terhadap perubahan iklim.

Tiga prinsip utama pertanian konservasi adalah pengolahan tanah seringan-ringannya, penutupan permukaan tanah secara permanen, dan rotasi tanaman dengan kacang-kacangan. Saat ini program tersebut dilakukan di lahan kering dan baru dilakukan di tanaman jagung.

Dalam kurun waktu tersebut teknik Pertanian Konservasi telah berhasil meningkatkan hasil jagung rata-rata 77% dari praktik pertanian konvensional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Program ini bisa meningkatkan hasil jagung rata-rata 77% , produktivitasnya meningkatkan 2 kali lipat kalau misalnya 5 ton bisa meningkat 2 kali lipatnya per hektar dan musim tanam itu," ujar Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknolgi Pertanian, Haris Syahbuddin, di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta pusat, Selasa (6/12/2016).

Kepala Perwakilan FAO di Indonesia Mark Smulders, menyebut visi FAO untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan kemiskinan. Kegiatan pertanian ini dapat menghadapi perubahan iklim dan meningkatkan hasil melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dapat memberikan perubahan transformastif.

"Pertanian konservasi bertujuan untuk mewujudkan yang berkelanjutan dan menguntungkan serta meningkatkan kehidupan keluarga petani. FAO berkolaborasi dengan pemerintah Indonesia telah berhasil memperkenalkan teknik pertanian konservasi di NTB dan NTT yang ternayata dapat meingkatkan hasil secara nyata serta menjadikan sistem pertanian lebih tangguh dalam menghadapi perubahan iklim," kata Mark.

Survei FAO yang dilakukan pada Februari 2016 di sejumlah daerah NTB dan NTT untuk menilai penerapan pertanian konservasi khususnya saat musim tanam yang tertunda dan kondisi musim kering karena El Nino. Hasil dari survei ini menunjukan pertanian konservasi memerlukan lebih sedikit penyiangan namun memberikan hasil panen yang lebih baik.

"Dengan menggunakan tanaman penutup seperti yang dianjurkan pertanian konservasi, 78% petani mengatakan lahan pertanian mereka jarang ditumbuhi gulma sehingga jarang melakukan penyiangan," kata Mark.

Libatkan 6.000 petani

Hingga saat ini, kegiatan pertanian konservasi telah melibatkan 264 Kelompok Tani dengan jumlah anggota sekitar 6.000 orang petani, sepertiga anggotanya adalah petani perempuan. Kegiatan tersebar di sembilan kabupaten, 27 kecamatan dan 65 desa di NTT dan NTB.

Melalui kerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) NTT dan Badan Koordinasi Penyuluhan (BAKORLUH) NTB, kegiatan pertanian konservasi dikembangkan melalui pelatihan bagi para penyuluh. Pelatihan pertanian konservasi di tingkat Provinsi NTT dan NTB diikuti oleh 49 orang penyuluh dari 10 kabupaten di NTT dan NTB.

Selanjutnya di masing-masing kabupaten sasaran telah dilaksanakan pelatihan yang diikuti oleh para penyuluh dari lima Balai Penyuluhan Kecamatan (BPK) dan Sekolah Kejuruan Pertanian. Jumlah keseluruhan peserta pelatihan pertanian konservasi adalah 275 orang penyuluh, 30 orang guru dan 321 orang siswa Sekolah Kejuruan Pertanian.

Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian, Muhammad Syakir, menyambut baik hasil yang positif dari program ini dan merencanakan menerapkan teknik-teknik pertanian.

"Berdasarkan hasil positif ini, pertanian konservasi diharapkan dapat diadopsi dan berkembang lebih luas serta dapat dilaksanakan secara masif oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu strategi dan mekanisme yang baik bagaimana proses alih teknologi ini dapat sampai ke masyarakat secara cepat dan berdampak pada peningkatan pendapatan petani yang menerapkan pertanian konservasi tersebut," ujar Dr. Syakir.

Program FAO ini akan selesai pada Juli 2017, dan kerja sama dengan pemerintah Indonesia selama musim tanam dilakukan untuk memastikan proses serah terima program kepada badan penyuluhan tingkat provinsi dapat dilanjutkan ke daerah kering lainnya. (hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads