Ini Jurus Kementan dan FAO Agar Lahan Kering Bisa Digarap Petani

Ini Jurus Kementan dan FAO Agar Lahan Kering Bisa Digarap Petani

Yulida Medistiara - detikFinance
Selasa, 06 Des 2016 18:03 WIB
Foto: dikhy sasra
Jakarta - Selain diterapkan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB), teknik pertanian konservasi (Conservation Agriculture) akan diterapkan di daerah yang memiliki iklim kering lainnya seperti Jawa Timur. Program tersebut adalah hasil kerja sama selama tiga tahun terakhir antara Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Badan Litbang) Pertanian Kementerian Pertanian.

Program ini untuk meningkatkan daya adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Selain itu dalam kurun waktu 3 tahun, teknik Pertanian Konservasi telah berhasil meningkatkan hasil jagung rata-rata 77% dari praktik pertanian konvensional.

Penerapan di NTB dan NTT dinilai cukup berhasil sehingga pemerintah berharap akan diterapkan di daerah lain. Misalnya di Jawa Timur, Banten, Sulawasi Tenggara dan Sulawesi Tengah

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau di kita masih ada peluang baik NTT dan NTB yang belum masuk dalam program ini akan di upscalling di situ, kemudian di Jatim walau belum seluas NTT, di Banten juga ada, di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, juga ada lahan kering, iklim kering jadi upscaling nya di tempat yang kira-kira sama," kata Deputi Sekretaris Badan Litbang Pertanian untuk Kerja Sama, Hukum, Organisasi, dan Humas Badan Litbang Pertanian, Edi Husen, di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta pusat, Selasa (6/12/2016).

Saat ini kondisi lahan kering di Indonesia secara total ada 191,09 juta hektar, terdapat 144,47 juta hektar (67,2%) lahan kering, lahan rawa 34,13 juta hektar, lahan basah non rawa 9,44 juta hektar, dan lainnya 3,05 juta hektar.

Dari 144,47 juta hektar tersebut luas lahan kering, sebanyak 4,61% Kalimantan, 33,25% berasal dari Sumatera, 28,6% berasal dari Papua, 16,57% dari Sulawesi, 10,7% berasal dari Jawa, dan 7,45 % berasal dari Maluku.

Sumatera dan Kalimantan memiliki lahan kering, tetapi bukan termasuk iklim masam sehingga tidak cocok diterapkan sistem tersebut. Hal itu karena penanaman sistem ini diperuntukan untuk lahan kering yang hanya bisa 1 kali dalam satu tahun melakukan panen.

"Kalau di Sumatera dan Kalimamtan itu lahan iklim masam dia basah. Di wilayah barat itu basah karena banyak air hujan, di Timur itu iklimnya kering airnya kurang makanya dia nggak bisa tanam lebih dari sekali dalam setahun," kata Edi.

"Makanya petani konservasi melakukan membuat lubang, di atas laannya ada tanaman, ditambah tutup tanah, dibuat juga embung untuk memanen air hujan kalau nggal ada air itu bisa mengalirkan ke lahan itu posisinya aagak tinggi ke daerah lain untuk kepentingan domestik," imbuhnya.

Tiga prinsip utama pertanian konservasi adalah pengolahan tanah seringan-ringannya, penutupan permukaan tanah secara permanen, dan rotasi tanaman dengan kacang-kacangan. Saat ini program tersebut dilakukan di lahan kering dan baru dilakukan di tanaman jagung.

Seperti diketahui, FAO memilih NTB dan NTT untuk menerapkan pertanian konservasi ini karena lahannya kering dan memiliki tantangan yang tinggi. Kegiatan tersebut untuk menjawab tantangan bagaimana meningkatkan produktifitas produksi jagung di lahan kering.

"NTT dan NTB itu kan sub tropikal, itu kan lahannya kering dan iklim kering. Iklim kering itu ada kurang dari 1000 hektar per tahun, kalau 3 bulan itu tanamnya 1 kali. FAO memilih tantangannya cukup tinggi, tentu di pilih karena respon masyarakat petani, mereka mau meningkatkan tingkat intensitas tanam. makanya di pilih NTT dan NTB," ujar Edi.

Dalam pengembangan ini memang dibutuhkan kelompok tani yang mau bekerjasama membangun program ini. Hal tersebut agar program tersebut terus berlanjut dan diikuti angkatan muda yang mau terjun bersama ke pertanian agar produktifitasnya berlanjut. (hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads