Ketua Kelompok Tani Alfaruq Desa Patak Banteng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Mudhofi mengatakan, selain malasah yang susah dicari, persoalan lainnya yang cukup pelik yang dihadapi petani Dieng yakni akses pasar.
Menurutnya, petani tidak bisa menjual kentang langsung ke pasar induk, melainkan harus menjualnya lewat pengepul. Di sisi lain, harga kentang petani Dieng bisa anjlok saat ada panen kentang di daerah lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harga kentang (sekarang) lumayan Rp 9.000/kg sampai Rp 10.000/kg, kalau lagi nggak bagus bisa Rp 3.000/kg bulan-bulan lalu. Itu kemarin satu bulan yang lalu Rp 6.000/kg," imbuhnya.
Menurut dia, harga kentang petani yang sangat fluktuatif tersebut disebabkan melimpahnya pasokan kentang dari daerah lain di luar Dieng, serta kentang impor yang masuk ke pasaran.
"Karena ada impor, kedua kadang kentang daerah (luar Diang) lagi panen, kalau daerah lain kan panen musiman, kalau di Dieng panen (kentang) sepanjang tahun," ujar Mudhofi.
Masalah lain, sambungnya, yakni serangan hama dan penyakit. Petani Dieng selama ini mengandalkan obat-obatan kimia untuk mengatasi masalah tersebut.
"Yang sangat meresahkan petani itu penyakit layu. Pakai obat biasanya," ungkap petani yang memiliki 1 hektar lahan kentang ini.
Untuk diketahui, kawasan Dieng merupakan salah satu sentra kentang terbesar di Indonesia. Dataran Tinggi melingkupi beberapa kabupaten di Jawa Tengah antara lain Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Batang.
(idr/drk)











































