Namun, ia mengatakan dirinya tetap berani mengambil keputusan walau banyak ditentang.
"Ketika kami membangun bandara kami dikritik, katanya kami tidak dianggap pro rakyat karena bandara hanya untuk pro kapitalis," ungkap Azwar dalam acara seminar, Jakarta, Rabu (11/1/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya itu, Azwar juga mengatakan, dirinya dicap sebagai anti global karena banyak melarang mal dan berbagai minimarket beroperasi di Banyuwangi. Dirinya mengatakan, untuk melakukan hal itu supaya dapat meningkatkan perekonomian di masyarakat bawah.
"Mal kami larang sebelum income per kapita di atas Rp 25 juta. Kalau income rendah, pasar modern merangsek ke desa-desa, maka tidak akan bisa meningkatkan kapasitas ekonomi Indonesia," terangnya.
"Makanya Banyuwangi telah sadar sejak 5 tahun lalu sebelum income di atas Rp 25 juta, kita larang mal berdiri. Mal hanya simbol kemajuan sebuah kota, tapi pajaknya nggak masuk kita," tuturnya.
Atas apa yang telah dilakukannya itu, Azwar mengaku, Banyuwangi telah menjadi tempat yang baik dan berhasil dalam menyejahterakan masyarakatnya. Hal itu dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS).
"Pengangguran dari 6% turun menjadi 2,55%, kemiskinan dari 20,05% turun menjadi 9,17%, pendapatan perkapita 20,8 juta menjadi 37,63 juta. Itu semua dari tahun 2010 hingga setelah tahun 2015," ungkap dia.
"Setiap tahun BPS mengeluarkan angka 10 kabupaten dengan biaya hidup paling rendah. Buat apa pendapatan tinggi, tapi inflasi tinggi, sistem distribusi barang gak efektif. Banyuwangi jadi nomor 1 biaya hidup paling rendah di Indonesia. PNS kami boleh tunjangan nggak sehebat Jawa Barat, tapi Insya Allah bahagia karena gajinya juga tidak digerus inflasi tinggi," tutupnya. (hns/hns)











































