Salah satu pemilik toko Harapan Perdana, Efendi menyebut sering mendapatkan order dari daerah timur Indonesia seperti Papua, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Lombok, dan daerah barat Sumatera.
Meski mendapatkan banyak orderan dari beberapa daerah, tetapi ada pula calon kepala daerah yang pembayarannya macet. Menurutnya, hal itu karena uangnya belum cair.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa juga dirasakan Rahmat pemilik konveksi lainnya, ia mengaku ada yang memesan kepadanya Rp 50 juta, tetapi baru dibayar Rp 20 juta pedagang tersebut, pembayarannya macet.
"Kadang misalnya ada yang order Rp 50 juta, DP nya Rp 20 juta dulu, kadang untungnya tidak seberapa tapi ada pembeli yang sulit kalau diminta pembayaran. Jadi kita juga hati-hati," kata Rahmat.
Macetnya pembayaran ini membuat barang yang telah jadi belum dibayar. Para pedagang pun tidak mau jika barangnya belum lunas tetapi dikirim ke pemesan.
Rahmat mengaku, dengan penundaan dari calon kepala daerah itu membuatnya merugi. Dia tidak pernah membuat laporan ke polisi atas kejadian ini, menurutnya hal ini merupakan resiko pedagang.
"Kalau lagi Pilkada ini banyak, alasanya ada yang kalah, ada yang merasa sudah bayar. Kita terima resiko enggak bisa terima apa-apa. Sementara ke depannya kalau ada yang pesan harus hati-hati walau biasanya dia yang melalukan itu tetep balik lagi tapi nanti kita hati-hati kalau dia pesan lagi," ujar Rahmat.
Pedagang lainnya, Andi menyebut pada saat sepi orderan atribut Pilkada ini, dia baru mendapatkan 1 orderan dalam jumlah besar. Nilainya mencapai Rp 137 juta, tetapi macet karena baru dibayar separuhnya sementara barangnya sudah jadi dan tinggal diambil. Namun, karena macet seperti ini membuat usahanya merugi sebab dia telah membeli bahan baku dan biaya produksinya.
"Salah satu calon wali kota di Papua dia order nilainya Rp 137 juta tapi tinggal Rp 85 juta lagi yang belum dibayar," kata Andi.
Ia menyebut calon wali kota tersebut telah memesan dari bulan Oktober 2016, seharusnya dibayar pada November. Namun, saat ditagih calon kepala daerah tersebut tetap beralasan sehingga membuat bisnisnya merugi.
"Pada Bulan Januari di telepon kata dia masih ada acara natal tidak bisa diganggu, bank tutup. Awal-awal bulan Januari ditelepon katanya seminggu lagi mau dibayar tapi tidak kunjung juga. Ini bukan rugi lagi, kalau di ambil semua bahkan kita cuma dapat untung Rp 10 juta tapi itu belum bersih, kita juga belum lapor lapor ke polisi," imbuhnya. (dna/dna)











































