"Dulu tidak ada yang ribut seperti ini. Ini ada persoalan yang berbeda, kenapa ini muncul," kata Hanif di acara Diskusi Sara, Radikalisme dan Prospek Ekonomi 2017 di Jakarta, Senin (23/1/2017).
Menurutnya, isu TKA China menyerbu Indonesia itu dibesar-besarkan dan menjadi komoditas politik. Sehingga, membuat keresahan bagi banyak tenaga kerja di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, jika ada TKA asal China yang melakukan transaksi di Indonesia menggunakan yuan juga merupakan hal yang tidak perlu dibesar-besarkan.
"Misal kalau lihat orang China transaksi pakai yuan, so what? sama aja saya saja di Mekkah transaksi pakai Rupiah, di Batam transaksi pakai dolar Singapura, wajar aja kita aja kalau shalat ied, di Taiwan, Hong Kong, atau 17 Agustus, 30 ribu orang kumpul di Victoria Park," jelasnya.
"Jadi ini bukan fakta dalam arti bahwa sebesar itu. Faktanya ada, peristiwa ada, tapi sudah diolah, secara hiperbolis, sehingga berpotensi timbulkan isu SARA dalam politik kita," sambungnya.
Oleh sebab itu, Hanif meminta masalah TKA dan mengenai TKA jangan terlalu dibesar-besarkan. Sebab, meskipun investor asing mendapat pekerjaan proyek pemerintah, dapat dipastikan akan menggunakan tenaga kerja lokal atau asal Indonesia.
Saat ini, pemerintah memberikan pelatihan vokasional agar para tenaga kerja di Indonesia memiliki keterampilan yang mampu bersaing dengan TKA.
Pasalnya, dari 125 juta angkatan kerja, 60% tenaga kerja Indonesia hanya lulusan SD dan SMP, atau belum memiliki keterampilan yang sesuai dengan standar industri besar.
"Dia buat masuk pasar tenaga kerja susah, tidak punya kompetensi, wirausaha tidak ada modal, mau masuk SMK, ketuaan. Tapi pemerintah handle misalnya dengan peningkatan akses dan mutu pelatihan kerja," kata dia (hns/hns)











































