Hanif mengatakan, kondisi ini sangat rentan terpengaruh isu SARA dan radikalisme. Pasalnya, lulusan SD dan SMP tidak memiliki keterampilan lebih, dengan begitu tingkat kesejahteraannya cukup rendah.
"Kita ini, total angkatan 125 juta, 60% lulusan SD, SMP, itu dia untuk masuk ke lapangan kerja susah karena tidak punya keterampilan," kata Hanif saat acara Sara, Radikalisme dan Prospek Ekonomi 2017, Jakarta, Senin (23/1/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makanya pemerintah meng-handle isu ini salah satunya memberikan akses mutu pelatihan kerja, karena mereka belum punya keterampilan, untuk masuk ke level yang lebih tinggi," tambahnya.
Pemerintah akan memberikan akses pelatihan bagi para masyarakat Indonesia, salah satunya keterampilan yang lebih diutamakan. Menurut Hanif, kebutuhan tenaga kerja di Indonesia masih belum sejalan dengan pendidikan formal yang selama ini diemban.
"Selama ini terlalu banyak pendidikan formal. Misal pendidikan tinggi, di China, penduduk 1,4 miliar, perguruan tinggi 2.000-an, kita 250 juta, perguruan tinggi 4.000-an. dua kali lipat. Orientasi di formal yang dari segi kurikulum, belum karena demand. Jadi mix matchn-ya itu, dengan kualitas seperti apa," jelasnya. (hns/hns)











































