Apa Kabar Ekonomi China?

Apa Kabar Ekonomi China?

Maikel Jefriando - detikFinance
Rabu, 25 Jan 2017 09:35 WIB
Foto: Salmah Muslimah
Jakarta - Pasca 2011, ekonomi China sudah tidak lagi tumbuh double digit. Perlahan ekonomi China turun sampai pada level 6,9% di 2015 dan diproyeksikan menjadi 6,7% di 2016 dan 6,5% untuk tahun ini.

China menjadi perhatian seluruh pihak karena menjadi ekonomi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Apa yang terjadi pada China akan memberikan pengaruh terhadap ekonomi banyak negara di dunia. Riset HSBC menyebutkan China bertanggungjawab untuk sekitar 12% dari total PDB dunia.

"China sekarang lagi rebalancing," ungkap Chatib Basri, Mantan Menteri Keuangan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berbincang dengan detikFinance, Rabu (25/1/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

China butuh ekonomi yang stabil. Ekspor yang menjadi pendorong utama perekonomian negeri tirai bambu tersebut tidak bisa lagi diteruskan. Agresivitas dalam ekspor membuat kondisi perdagangan Internasional memburuk, bahkan pertama kalinya dalam satu dekade terakhir tumbuh lebih rendah dari angka pertumbuhan ekonomi global.

Dalam satu pertemuan Internasional, China diminta mengubah pola ekonominya. Dari yang sebelumnya mengandalkan ekspor menjadi konsumsi domestik. Dari ekspor barang China, banyak negara-negara kehilangan industri dalam negerinya. Maklum saja, China bisa jual barang lebih murah.

"Mau enggak mau, China harus beralih ke konsumsi domestik," terangnya.

Negara sebesar China tidak bisa bermain sendiri dalam kebijakan ekonomi. Sedikit mengingatkan kondisi pada tahun lalu, saat yuan tiba-tiba sengaja dilemahkan dengan tujuan agar ekspor China bisa digenjot menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Hasilnya justru gejolak di pasar keuangan.

Pertumbuhan ekspor China dianggap telah mencapai titik jenuh. Apabila terus dipaksakan, maka dampak negatifnya akan sampai kepada negara lain, termasuk Indonesia. Untungnya persoalan serius tersebut bisa segera dihentikan.

"Makanya saya bilang itu adalah persoalan serius, karena efeknya luar biasa," kata Chatib.

Tercatat ekspor China turun 6,1% pada Desember 2016 dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Sementara itu, performa impor naik 3,1%. Surplus perdagangan pada periode tersebut menjadi US$40,8 miliar.

Selanjutnya, indeks harga konsumen (consumer-price index/CPI) China pada Desember naik 2,1% (yoy) dan indeks harga produsen (producer-price index/PPI) melonjak 5,5% (yoy).

Proses peralihan dari ekspor ke domestik memang tidak mudah. Harus dilakukan bertahap. Salah satu persoalannya adalah budaya masyarakat China yang tidak konsumtif. Sangat berbeda dengan Indonesia yang masyarakatnya bisa belanja besar meski penghasilan pas-pasan.

Persoalan lain yang dihadapi China adalah soal tenaga kerja. Banyak pabrik yang rencananya akan ditutup, khususnya yang selama ini berorientasi ekspor. Bila dialihkan ke sektor padat modal, maka dibutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan yang lebih tinggi.

China juga dihadapkan pada ketidakpastian dari Amerika Serikat (AS) pasaca dilantiknya Donald Trump. Kebijakan proteksionis pada perdagangan akan membuat China kehilangan pasar ekspor yang besar. Permintaan barang dari Uni Eropa juga diproyeksikan akan terus menurun, apalagi setelah adanya Brexit.

Chatib memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China yang stabil secara jangka panjang pada level 5-6%. Agak berbeda dibandingkan kebanyakan pihak yang memproyeksikan bisa sampai ke level 3-4%.

"Stabilnya ekonomi China itu menurut saya adalah di 5-6%," ujarnya. (mkl/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads