Tak Ada Kabar Baik dari Ekonomi Global, Bagaimana Nasib RI?

Tak Ada Kabar Baik dari Ekonomi Global, Bagaimana Nasib RI?

Maikel Jefriando - detikFinance
Rabu, 25 Jan 2017 11:16 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Tidak ada kabar baik dari perekonomian global. Beberapa kejadian yang muncul pada tahun lalu justru menjadi ketidakpastian baru di 2017. Lalu bagaimana nasib Indonesia?

"Ekonomi tumbuh 5% saja, Indonesia sudah sangat bagus," ungkap Chatib Basri, Mantan Menteri Keuangan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat berbincang dengan detikFinance, Rabu (25/1/2017).

Chatib melihat ada persoalan berat yang harus dihadapi Indonesia ke depan. Pada 2016, ekonomi Indonesia diproyeksi bisa mencapai 5-5,1%. Faktor pendorong utama masih berasal dari konsumsi dalam negeri dan investasi dari pemerintah maupun swasta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk 2017, pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi 5,1%. Lebih rendah dari yang diperkirakan banyak pihak, termasuk Bank Dunia yang jauh lebih optimis melihat Indonesia dengan pertumbuhan mencapai 5,3%.

Menurut Chatib, pemerintah bermain cukup konservatif dengan memasang target lebih rendah. Hal ini dikarenakan asumsi pertumbuhan ekonomi sangat mempengaruhi penetapan pagu anggaran penerimaan, terutama pajak. Setidaknya kesalahan perencanaan anggaran pada tahun lalu, peluangnya lebih kecil terjadi.

Hal tersulit yang harus dihadapi Indonesia adalah dari sisi global. Peluang ekspor untuk tumbuh positif sangat tipis. Meskipun harga minyak dunia dan komoditas berpotensi naik pada tahun ini, namun belum bisa akan menyamai periode 2008. Chatib memproyeksikan harga minyak dunia pada kisaran US$ 65-70 per barel.

Masih terkait ekspor, Indonesia juga terkendala dari pelemahan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekonomi negara maju tidak seperti yang diharapkan sehingga permintaan terhadap produk dari Indonesia menjadi terbatas. Bahkan permintaan komoditas dari China dan India cenderung stagnan.

Pada sisi lain, Presiden AS Donald Trump juga menimbulkan ancaman terhadap industri dalam negeri. Ini terkait dengan rencana proteksionis terhadap perdagangan yang sudah dibuktikan melalui pengunduran diri AS dari perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP).

Langkah proteksionis tersebut, menurut Chatib memang cenderung tertuju pada China. AS adalah salah satu pasar ekspor terbesar China. Bila China kehilangan pasar di AS, berarti akan ada pasar baru dituju yang tentunya adalah negara dengan konsumsi terbesar di dunia. Indonesia menjadi salah satu pilihannya.

China mampu menjual barang lebih murah. Seandainya pemerintah tidak menyiapkan antisipasi, maka industri manufaktur yang sekarang baru mulai tumbuh akan kembali redup. "Jadi China terkena dampaknya, terus akan menjalar ke Indonesia," imbuhnya.

Investasi, menurut Chatib kendalanya adalah dari sisi permintaan. Ada keterbatasan dari kalangan investor untuk menancapkan modal baru maupun ekspansi. Sehingga meskipun sudah dilakukan deregulasi dan suku bunga yang rendah, akan tetapi investor belum tentu mau berinvestasi.

"Deregulasi yang dilakukan pemerintah sudah benar, tapi efeknya memang tidak bisa secepat itu," tegas Chatib. Proyeksi untuk pertumbuhan kredit perbankan hanya maksimal 10% atau lebih rendah dari proyeksi Bank Indonesia (BI) yang maksimal 12%.

Solusi untuk mendorong investasi tumbuh tinggi adalah dengan memastikan pasar dalam negeri kuat. Pemerintah harus dapat memberikan stimulus agar ekonomi tumbuh langsung tertuju kepada peningkatan daya beli masyarakat. Sehingga masyarakat tetap bisa belanja. "Pasar dalam negeri harus dipastikan terjaga," ujarnya.

Meski demikian, pertumbuhan ekonomi 5% sudah sangat bagus bila dibandingkan banyak negara lainnya. Indonesia adalah negara ketika dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia di tengah ketidakpastian ekonomi global. "Sekarang negara mana yang bisa tumbuh di atas 5%, nggak banyak," tukasnya. (mkj/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads