Gaji Pekerja di China, Apakah Lebih Kecil dari RI?

Laporan dari Xiamen

Gaji Pekerja di China, Apakah Lebih Kecil dari RI?

Feby Dwi Sutianto - detikFinance
Rabu, 08 Feb 2017 12:40 WIB
Foto: Feby Dwi Sutianto
Xiamen - Beberapa waktu lalu, tanah air diramaikan dengan berita serbuan tenaga kerja asing asal China. Hal ini mengundang polemik, bahkan pemerintah, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri sempat melakukan inspeksi mendadak langsung ke salah satu perusahaan untuk mengecek kebenaran kabar ini.

Bila berita tersebut benar dan besaran gaji menjadi alasan, lantas berapa penghasilan tenaga kerja di Tiongkok? Apakah gaji di Indonesia lebih besar dari China?

Berdasarkan situs gaji, WageIndicator.org, besaran upah minimum dari setiap kota di China berbeda-beda, mirip dengan Indonesia. Penetapan gaji pun bisa berdasarkan bulanan ataupun per jam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada penetapan gaji periode 2016-2017, gaji minimal bulanan tertinggi berada di pusat bisnis dan industri seperti Kota Shanghai 2.190 RMB atau setara Rp 4.380.000 (asumsi 1 RMB = Rp 2.000), Shenzhen 2.030 RMB, Tianjin 1.970 RMB, dan Beijing 1.890 RMB.

Namun besar gajian yang diterima pekerja bisa berbeda dan lebih tinggi bila mengacu pada gaji berdasar jam kerja atau hitungan per jam. Gaji itu di luar fasilitas tempat tinggal gratis, bonus sampai makan gratis.

Buruh Pabrik di China: Saya Gajian Rp 6.6 Juta

Mencari kerja, apalagi bekerja sebagai buruh pabrik di China tidak begitu sulit. Peluang ini bisa dimanfaatkan oleh para pelajar asing, termasuk Indonesia untuk mengisi waktu liburan musim dingin.

Ara, Pelajar Indonesia yang menyambi sebagai buruh pabrik saat masa liburan semester, mengaku telah bekerja pada sebuah pabrik di Kota Xiamen, Fujian China. Ia memperoleh gaji dengan hitungan 10 RMB per jam.

Wanita berhijab ini mengatakan, ia harus bekerja selama 11 jam setiap harinya tanpa libur alias akhir pekan tetap bekerja. Bila bekerja non stop tanpa libur, Ara bisa menerima gaji bersih 3.300 RMB atau setara Rp 6,6 juta per bulan.

"Satu jam aku dibayar 10 RMB jadi sehari bisa dapat 110 RMB. Kalau sebulan full bisa 3.300 RMB atau setara Rp 6,6 juta," ucap Ara.

Selain gaji bersih, Ara juga memperoleh fasilitas tempat tinggal gratis di dekat pabrik hingga jatah makan gratis selama jam kerja. Dirinya juga mengaku penghasilan yang diterima sangat besar, bahkan lebih besar dari uang beasiswa yang diterimanya setiap bulan.

Namun, gaji yang diterima Ara sebetulnya lebih kecil daripada standar gaji per jam untuk Kota Xiamen. Maklum saja, Ara hanya bekerja sebagai buruh kontrak selama 1 bulan. Standar gaji per jam untuk Kota Xiamen, periode 2016-2017, ialah 16 RMB.

Pekerja Asing Menikmati Gaji Tinggi di China

China yang memiliki Gross Domestic Product (GDP) US$ 11.391,61 triliun di 2016 (data: International Monetary Fund/IMF) dan menjadi ekonomi terbesar ke-2 di dunia setelah Amerika Serikat (AS) ini, menarik perhatian dunia, termasuk pekerja asing.

Stephan, Warga Negara Prancis yang telah menetap di China selama 7 tahun ini, mengaku perusahaan di Negeri Tirai Bambu berani membayar tinggi bagi pekerja asing dengan keterampilan khusus.

Dengan keterampilan di bidang pengajaran Bahasa Inggris, Stephan bisa membawa pulang 10.000 RMB atau setara Rp 20 juta per bulan.

"Gaji saya sebagai guru Bahasa Inggris per bulan RMB 10.000 tapi kenaikan gaji relatif jarang. Gaji 10.000 RMB bagi mereka (perusahaan China pemberi kerja) itu sudah tinggi," sebutnya.

Stephan yang juga sedang menempuh pendidikan S2 di salah satu universitas di China ini, mengaku penghasilannya bisa meningkat bila dirinya telah mengantongi gelar akademik lebih tinggi. Sambung dia, perusahaan China sangat memperhatikan gelar akademik dan keterampilan.

Bila pekerja asing tanpa keterampilan khusus, perusahaan di China bisa memberi gaji antara 5.000 RMB-6.000 RMB per bulan. Namun gaji yang didapat bisa lebih tinggi bila sang pekerja memiliki gelar akademik tinggi dan tentunya keterampilan khusus seperti Bahasa Mandarin.

"Kalau punya skill khusus bisa dapat mulai 10.000 RMB. Kalau kualifikasi makin tinggi, kamu bisa dapat gaji lebih tinggi. Saya punya teman, dia tamatan sarjana saja tapi orang asing. Dia bisa berbicara Bahasa China dengan baik. Dia bisa gajian 20.000 RMB (setara Rp 40 juta) per bulan." tuturnya.

Gaji Tinggi dan Nasib Industri di China

Dalam Teori Ekonomi Klasik, produksi barang dan jasa sangat ditentukan oleh 2 faktor (factor of production), yakni modal (capital) dan tenaga kerja (labor).

Untuk menghasilkan produk, barang dan jasa, yang kompetitif, kedua faktor tersebut harus mampu ditekan dari sektor biaya. Lantas bagaimana dengan China?

Dari sektor tenaga kerja, biaya buruh di China tidak murah bahkan lebih tinggi daripada Indonesia (seperti UMP DKI Jakarta tahun 2017 sebesar Rp 3,35 juta/bulan). Bila ongkos tenaga kerja tinggi, industri di China masih memiliki harapan pada 1 faktor, yakni modal.

Mau tak mau, Pemerintah China harus 'turun tangan' untuk membantu industri China agar bisa terus memproduksi barang dengan harga kompetitif di tengah perlambatan ekonomi global. Pemerintah Negeri Tirai Bambu bisa saja memberikan subsidi seperti bunga rendah untuk kredit hingga menyediakan berbagai bantuan permodalan sehingga produk yang dihasilkan bisa kompetitif.

Apakah dengan ini Pemerintah China telah membantu sektor industri mereka?

Secara detil, memang tak ada data yang menyebut bantuan dari pemerintah karena hal ini bisa memicu dugaan praktik dumping sehingga produk made in China menjadi lebih murah bila diekspor.

Namun, bila merujuk data yang dirilis International Monetary Fund (IMF), belanja Pemerintah China terus meningkat yakni tahun 2014 sebesar US$ 3.051,79 triliun (28,91% dari total GDP), tahun 2015 sebesar US$ 3.304,07 triliun (31,34% dari total GDP), dan tahun 2016 sebesar US$ 3.492,66 triliun (30,66% dari total GDP). Apakah belanja Pemerintah China juga dialokasikan untuk memberi subsidi di sektor industri? Bisa iya atau bisa tidak.

Potensi Mengalihkan Lokasi Produksi dan Peluang Indonesia

Bila biaya tenaga kerja di China terus meningkat, ada potensi perusahaan lokal Tiongkok atau perusahaan asing yang melakukan alih daya (outsourcing) di China untuk mencari atau merelokasi pabriknya ke negara-negara berkembang yang menawarkan biaya tenaga kerja lebih rendah.

Apakah ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia? Tentu bisa, apabila bila tren kenaikan gaji buruh atau tenaga kerja di Indonesia bisa dikendalikan dengan wajar. Tentunya, peluang ini juga harus didukung dengan dukungan seperti kemudahan perizinan, kondisi infrastuktur yang mumpuni, hingga faktor keamanan.

Apakah investor asing, termasuk China mulai melirik Indonesia sebagai basis produksi? Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM) Indonesia, angka investasi asing ke Indonesia (Foreign Direct Investment/FDI) sebesar Rp 101,9 triliun di 2016 atau naik 2,1% dari tahun sebelumnya. Dari angka itu, investor asal China menduduki peringkat investasi terbesar ke-3 atau senilai US$ 2,7 miliar.


Xiamen, 8 Februari 2017 (mca/mca)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads