Acara ini diawali oleh High Level Symposium on Global Economic Governance in a Multipolar World pada 17 Maret 2017, yang hanya dihadiri oleh para Menteri dan tokoh ekonomi terkemuka dunia.
Donald Trump menjadi topik hangat dalam pembicaraan. Tak lain karena pertama kalinya kalangan ini bertemu sejak Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Apalagi Trump muncul dengan berbagai kebijakan yang terbilang kontroversial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Salah satunya adalah terkait perdagangan. AS di bawah Trump, menganggap hubungan perdagangan dan investasi serta kerja sama multilateral yang berlangsung selama ini merugikan.
Pandangan tersebut sangat berbeda dengan semangat kerjasama G20 yang dilahirkan pada saat dunia mengalami krisis keuangan global yang mengancam seluruh dunia, yang berhasil mengembalikan kestabilan dan makin memperkuat koordinasi kebijakan ekonomi global dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.
Sri Mulyani mempertanyakan komitmen G20 dalam memelihara kerja sama global untuk menciptakan kestabilan keuangan global yang berlandaskan pada azas keadilan, dan peraturan yang disepakati bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama yang adil.
Hubungan perdagangan dan investasi antar negara merupakan instrumen yang telah terbukti mampu memerangi kemiskinan dalam empat dekade terakhir.
Contoh paling konkret adalah Asia, sebagai kawasan yang mendapat manfaat dari hubungan perdagangan dunia yang telah memacu bangkitnya ekonomi dan pengurangan kemiskinan dari Jepang, Korea Selatan, China, ASEAN, dan India serta negara-negara di kawasan Asia Selatan.
Sri Mulyani mengingatkan, G20 harus mampu menjaga komitmen kerja sama tersebut, untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan satu negara dan berakibat buruk bagi negara lain. Ini pun sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam di Indonesia.
Demikian disampaikan Sri Mulyani, pada siaran pers Kementerian Keuangan yang diterima detikFinance, Senin (20/3/2017).
![]() |
Pandangan ini disambut positif oleh para Menteri Keuangan negara-negara G20, yang memberikan sokongannya mengenai perlunya penegasan komitmen kerja sama tersebut. Termasuk juga soal devaluasi nilai tukar untuk semata-mata bertujuan kompetisi perdagangan masing-masing negara.
Meskipun beberapa negara terdengar menyuarakan hal yang senada, akan tetapi kesepakatan yang diharapkan tak tercapai. Banyak kemudian yang kecewa, termasuk Sri Mulyani.
Ini menandakan, aturan yang mengikat secara global tidak lagi menjadi dasar hubungan ekonomi dan perdagangan dunia, artinya negara kuat akan mendikte dan mendominasi hubungan menurut kepentingan mereka sendiri, bukan atas kepentingan bersama. Sri Mulyani pun akan merumuskan kebijakan untuk mengantisipasi perubahan tersebut.
Hal lain yang kemudian menjadi kesepakatan adalah komitmen mendukung strategi pertumbuhan yang lebih kuat, berkesinambungan, berimbang, dan inklusif untuk menjaga momentum pertumbuhan global dalam jangka panjang. Oleh karenanya, semua pilihan kebijakan termasuk moneter, fiskal dan reformasi struktural, harus digunakan secara bersama-sama dan saling mendukung untuk memaksimalkan usaha mendorong pertumbuhan global tersebut. (mkl/wdl)