Bisakah Tarif KA Bandara Soetta di Bawah Rp 100.000?

Bisakah Tarif KA Bandara Soetta di Bawah Rp 100.000?

Muhammad Idris - detikFinance
Selasa, 11 Apr 2017 14:32 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Membentang sejauh 36 kilometer (km) dari Stasiun Manggarai hingga ke Cengkareng, tiket Kereta Bandara Soekarno-Hatta rencananya di atas Rp 100.000. Dengan batas atas Rp 150.000.

Direktur Utama PT Railink, Heru Kuswanto, mengungkapkan rencana tarif tiket tersebut sudah sesuai investasi yang digelontorkan anak usaha PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan Angkasa Pura II tersebut. Apalagi, banyak pembebasan tanah cukup besar di Kota Tangerang, yakni dari Stasiun Batu Ceper hingga area bandara.

Namun demikian, bisakah tarif tersebut bisa diturunkan lagi hingga di bawah Rp 100.000?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu bisa saja tarifnya turun lagi, dengan rencana tarif sekarang kan logis dengan semua biaya yang sudah dikeluarkan sekian-sekian. Kalau dirasa pemerintah bisa hadir, bisa saja turun," terang Heru ditemui di Jakarta Railway Centre, Juanda, Jakarta, Selasa (11/4/2017).

Skema yang penurunan harga dengan intervensi pemerintah, jelas dia, bisa dilakukan dengan skema PSO (Public Service Obligation) alias subsidi. Atau dengan mekanisme subsidi lain yang tidak langsung.

"Mekanisme paling mudah dengan PSO, mekanisme lain kan bisa beda-beda, ada yang hadir langsung atau tidak langsung untuk keekonomian lain yang membuat masyarakat pindah ke transportasi publik," ujar Heru.

"Misal dari harga BBM-nya. Seperti kalau di Prancis ditentukan bersama Dewan Transportasi untuk unsur keekonomian yang ditanggung oleh negara. Kalau pemerintah komitmen ke transportasi publik harus tegas, bentuknya bisa macam-macam," tambahnya.

Di Malaysia contohnya. Operator Kereta Kuala Lumpur International Airport (KLIA) tidak dibebani biaya untuk pembebasan lahan, lantaran tanahnya sudah disediakan pemerintah. Sementara pihaknya harus melakukan pembebasan tanah sendiri di banyak titik di Kota Tangerang.

"KLIA itu bangun kereta bandara enggak beli lahan, lahannya dari kerajaan. Dari sisi tanah saja untuk membangun transportasi publik dengan negara tetangga beda, sementara selain kita beli tanah sendiri, prosesnya juga lama," ucap Heru. (idr/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads